Lahirnya Panglima Besar
24 Januari 1916. Hari ini, 92 tahun silam, di Purbalingga, Panglima Besar Jenderal Soedirman lahir. Profil yang diamini banyak orang sebagai Bapak Tentara Indonesia ini lahir dari keluarga yang taat beragama. Dalam penghargaan dan ketaatan pada nilai-nilai agama itulah Soedirman dibesarkan. Warisan itulah yang kelak menjadi ciri menonjol dari kepemimpinan Soedirman, yang hingga level-level tertentu memengaruhi pula watak tentara Indonesia.
Awalnya ia ingin menjadi guru. Soedirman karenanya memilih masuk Sekolah Guru Muhammadiyah di Solo. Begitu lulus, Soedirman langsung mengajar di sebuah SD Muhammadyah di Cilacap. Dalam karirnya sebagai guru di Cilacap, Soedirman bahkan sempat mencicipi pengalaman sebagai kepala sekolah.
Cikal dari karir militer Soedirman dimulai saat ia mulai aktif di organisasi kepanduan Muhammadiyah yaitu Padvinders Muhammadiyah yang pada 1920 berganti nama menjadi Hizbul Wathan (HW). Sewaktu Jepang membuka lowongan bergabung dengan PETA, Soedirman mengambil kesempatan itu. Di akhir masa pendudukan Jepang, Soedirman bahkan sudah menjadi pemimpin PETA untuk Karesidenan Banyumas.
Ketika Indonesia memroklamirkan kemerdekaannya, Soedirman kembali menorehkan prestasi: berhasil merebut semua senjata tentara Jepang di Karesidenan Banyumas tanpa menembakkan satu pun peluru. Capaian kemeliteran Soedirman makin menapak tinggi sewaktu ia dan pasukannya berhasil menghadang penetrasi pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda di daerah Ambarawa pada awal November 1945.
Catatan prestasi yang menjulang itu, ditopang kepribadiannya yang simpatik dan bersahaja, membuat Soedirman menjadi begitu populer. Tak perlu diherankan jika ia terpilih secara aklamasi sebagai Panglima TKR pada 12 November 1945, menggantikan Soeprijadi yang tak kunjung muncul. Soedirman “mengalahkan” Oerip Soemoharjo, seorang eks-KNIL yang lebih senior, lebih berpengalaman di bidang administrasi dan pertempuran, sekaligus sebagai pribumi dengan pangkat tertinggi dalam sejarah KNIL.
Di luar statusnya sebagai eks-PETA yang membuatnya tak disukai Perdana Menteri Sjahrir serta keterlibatannya dalam beberapa friksi politik yang mengaitkannya dengan Tan Malaka, Soedirman harus diakui menjadi referensi paling purba sekaligus yang utama dari dedikasi, integritas dan asketisme tentara Indonesia. Sementara Oerip Soemohardjo, untuk kemudian dilanjutkan Nasution, menjadi peletak dasar profesionalisme dan disiplin militer dari tentara Indonesia.
Pilihannya untuk tetap menggelar perlawanan gerilya di saat paru-parunya hanya berfungsi sebelah, persis di saat semua pimpinan RI memilih “menyerah” sewaktu Belanda menggelar Agresi Militer II, membuat profilnya makin terkerek ke langit-langit, menjadikannya seperti legenda.
Yang menarik dari kepemimpinan Soedirma, salah satunya, terletak pada himbuannya yang tanpa henti ihwal kesatuan antara tentara dan rakyat. Ucapannya yang terkenal, “Tentara dan rakyat itu seperti ikan dan air”, menjadi cikal dari karakter tentara Indonesia sebagai tentara rakyat, bisa dibilang menjadi alas dasar dari apa yang kelak disebut Dwi Fungsi ABRI.
Hal lain yang menarik dari kepemimpinan Soedirman adalah himbauannya yang berulang-ulang ihwal arti penting kesucian spirtual tentara sebagai prasyarat mutlak pengabdian tentara pada negara. Tanpa kesucian itu, kata Soedirman, Seorang tentara dengan mudah akan terjebak pada avonturisme yang tidak hanya membahayakan dirinya, tapi juga membikin rentan integritas perjuangan itu sendiri.
Semua kata dan laku Soedirman itu rupanya direkam dengan baik oleh rakyat. Mestikah diherankan jika kepulangannya dari medan gerilya di akhir tahun 1949 ditunggu banyak orang, dan pertemuan Soedirman dengan Soekarno, yang dipuncaki oleh adegan berpelukan keduanya, menjadi salah satu perjumpaan dua pemimpin republik yang paling menguras emosi dan perhatian.
Dari Soedirman, lagi-lagi kita menemukan contoh konkrit ihwal sosok guru sekolah yang dengan cemerlang bertransformasi menjadi “guru bangsa”.