Ambeg Parama Arta
15 Mei 1963, Hari ini, di Jakarta, di hadapan Sidang Umum ke-II MPRS, Presiden Soekarno membacakan pidato berjudul "Ambeg Parama Arta". Pidato tersebut, sekali lagi, menunjukkan bagaimana Soekarno memiliki kecerdasan berbahasa, menggali seraya mengolah kosa kata, peribahasa dan pepatah yang ia anggap bisa mewakili satu bangunan argumen yang ingin dikemukakannya.
Ambeg Parama Arta diambil Soekarno dari khasanah kebudayaan Jawa. Istilah itu merupakan pribahasa yang maknanya (kurang lebih) berarti "kemampuan memilih dengan tepat mana yang harus didahulukan", kurang lebih bisa disamakan dengan "skala prioritas".
Soekarno dalam pidatonya tak banyak berbicara ihwal skala prioritas dalam kepemimpinan tunggal yang ia tegakkan di atas konsepsi demokrasi terpimpin. Pada pidatonya, soekarno lebih banyak berbicara mengenai visinya tentang konsep "Pemimpin Besar Revolusi".
Predikat "Pemimpin Besar Revolusi" diterima Soekarno pada Masa Sidang ke-II MPRS. Dan pidato Ambeg Parama Arta adalah respon Soekarno atas pemberian gelar itu. Saya sadar, kata soekarno, "Bahwa hal ini bagi saya membawa konsekuensi yang amat besar! Oleh karena seperti Saudara-saudara juga mengetahui, 'memimpin'membawa pertanggungan-jawab yang amat berat sekali! 'Memimpin' adalah lebih berat daripada sekedar 'Melaksanakan'. 'Memimpin' adalah lebih berat daripada sekedar menyuruh melaksanakan!"
Dengan retorikanya yang memikat, Soekarno meminta agar pemberian gelar itu diikuti kesiapan untuk menerima implikasinya. Dengan intonasi yang mantap, Soekarno menjelaskan implikasi itu: "Jikalau benar dan jikalau demikianlah Keputusan MPRS, yang saya diangkat menjadi Pemimpin Revolusi Besar Indonesia, Revolusi Rakyat Indonesia, maka saya mengharap seluruh Rakyat, termasuk juga segenap Anggota MPRS, untuk selalu mengikuti, melaksanakan, memfi'ilkan segala apa yang saya berikan dalam pimpinan itu!"
Dalam arus zaman yang diorkestrasi dengan oleh partitur berjudul "revolusi nasional", kepemimpinan nasional yang kaut, bagi Soekarno, adalah syarat mutlak. Di sini, lagi-lagi, soekarno sudah mengajukan satu istilah yaitu Resopim yang merupakan singkatan dari "Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan Nasional".
Begitu pidato Ambeg Parama Arta dilansir, dengan segera, kosa kata itu beredar luas. Kosa kata Ambeg Parama Arta digunakan di surat kabar, dalam percakapan sehari-hari hingga pidato para pejabat hingga ceramah para mubaligh dan rohaniawan.
Dalam risalah Musyawarah Pembantu Perencanaan Pmebangunan Nasional 1965, misalnya, muncul kalimat seperti: "Penjusunan pola pembangunan nasional akan dipertemukan dengan satu fakta adanya prioritas di atas prioritas – mengambegparama-artakan lagi proyek-proyek prioritas."
Gubernur Jakarta pada periode 1964-1965, Henk Ngantunk, juga ikut-ikutan mengadopsi Ambeg Parama Arta sewaktu dihadapkan pada kompleksnya persoalan ibukota Jakarta. Seperti yang bisa kita baca dalam memoarnya, Henk menulis: ''Maka secara ambeg parama arta saya kesampingkan dulu semua persoalan lain, dan memusatkan soal beras, dengan pengertian: beras adalah soal perut yang lapar tak bisa ditunggu. Dan perut yang lapar adalah bahaya, mengganggu keamanan dan ketertiban ibukota.
Di dalam lingkup TNI, khususnya TNI AL, konsep Ambeg Parama Arta bahkan digunakan sebagai satu dari sebelas aza kepemimpinannya: Taqwa, Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani, Waspada purba wisesa, Ambeg parama arta, Prasaja, Satya, Gemi Nastiti, Belaka dan Legawa.
Soekano memang benar ketika berbicara ihwal pemimpin yang harus mampu memahami konsep "Ambeg Parama Arta" karena memimpin negara mesti menghadapi persoalan yang multi-kompleks. Tapi dari sejarah kita juga tahu, kepemimpinan Soekarno jatuh karena (salah satunya) ketidakmampuannya menjawab persoalan perekonomian menyusul pilihannya untuk meng-ambeg parama arta-kan politik di atas perkara-perkara lainnya.
Sejarah kepemimpinan Indonesia di masa datang bisa belajar banyak dari kasus ini.
No comments:
Post a Comment