Saturday, May 19, 2007

Federalisme yang Terbelah

19 Mei 1950, Hari ini, di Jakarta, pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Republik Indonesia (RI) menandatangani piagam persetujuan untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Realisasi persetujuan terlaksana pada 17 Agustus 1950, bersamaan perayaan kemerdekaan Indonesia yang kelima.

Munculnya Republik Indonesia Serikat (RIS) merupakan konsekuensi kesepakatan yang ditandatangani dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 2 November 1949. Dalam KMB, sejumlah kompromi berhasil dicapai. Ada dua poin krusial yang berhasil disepakati: (1) pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia (tidak termasuk Papua) kepada (2) Republik Indonesia Serikat yang berbentuk negara federal.

Sebagai konsekuensinya, lahir pula konstitusi yang baru yaitu Undang-Undang Dasar RIS. Dalam konstitusi yang baru itu, RI hanyalah satu dari total 7 negara bagian yaitu: RI, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur dan Negara Sumatera Selatan.

Pada 16 Desember 1949, dalam sebuah Dewan Pemilihan Presiden RIS, Soekarno secara aklamasi terpilih sebagai Presiden RIS. Sementara Mohammad Hatta, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden RI, dipilih sebagai Perdana Menteri RIS. Adapun Pejabat Presiden RI ditempati oleh Mr. Asaat.

Tetapi “garis tangan” RIS ternyata tak berumur panjang. Dalam tubuh negara federal yang baru itu, sentiman pro-republik (sebutan untuk orang-orang yang menginginkan bentuk NKRI) begitu kuatnya. Sentimen makin kuat menyusul dibebaskannya 12000 tawanan pro-Republik dari penjara-penjara Belanda selama periode Agustus-Desember 1949.

Sentimen anti-federal makin tak terbendung setelah Westerling menggelar operasi yang mencoba memangkas laju sejarah. Setelah sebelumnya membantai ribuan orang di Makasar, gerombolan sisa NICA yang dipimpin Westerling pada Januari 1950 bergerak ke Bandung dan berhasil menduduki kota Bandung. Westerling sendiri mengancam akan menyerang RIS. Setelah serangan terakhir tersebut bisa dipukul, didapati sejumlah elit Negara Pasundan terlibat dalam gerakan Westerling.

Dari sanalah sentimen anti-federalisme makin tak terbendung. Satu per satu negara bagian menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia yang berkedudukan di Jogjakarta. Sentimen ini bukannya tanpa perlawanan. Oposisi terbesar muncul dari Negara Sumatera Timur dan NIT. Di NIT, banyak orang Ambon yang beragama Kristen, Pro-Belanda, dan banyak yang ikut aktif sebagai bagian dari NICA yang berperang dengan tentara Indonesia, menolak mentah-mentah pembubaran federalisme ke dalam NKRI.

Sentimen anti-federalisme memuncak pada 19 Mei dengan ditandatanganinya Piagam Persetujuan antara RIS dengan RI untuk membentuk NKRI. Pada kesempatan yang sama itulah, Negara Sumatera Timur dan NIT secara resmi akhirnya menyetujui pembubaran RIS untuk membentuk NKRI pada 17 Agustus 1950.

Pada saat NKRI kembali lahir pada 17 Agustus 1950, dengan konstitusi baru bernama Undang-Undang Dasar Sementara 1950, cukup banyak alasan untuk meyakini bahwa Republik Indonesia tidak akan pernah lagi menjadi negara federal, negara Islam, negara komunis, apalagi menjadi suatu jajahan Belanda. Tetapi cukup jelas juga bahwa kepastian-kepastian yang masih sementara itu melahirkan sejumlah ketidakpastian lain yang siap menghadang: soal perekonomian pasca perang yang bangkrut, soal konsensus ideologi politik yang tertunda, juga soal kesukuan, etnis dan hubungan pusat-daerah.

Indonesia yang bersatu memang telah lahir kembali: sebuah kelahiran yang dalam waktu singkat akan membawa negara yang baru itu berhadapan dengan senarai problem-problem eksistensial yang gawat. Sejarah Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin adalah sehimpun riwayat pergulatan yang, seperti kita tahu, mesti diakhiri dengan cara yang tragis.

_____________________________________ Jurnal