Laskar Partikelir
18 Mei 1948, Hari ini, di Kota Baru, Aceh, Pimpinan Masjumi Aceh dan Komandan Divisi X Cik Di Tiro mengeluarkan pengumuman besama tentang penggabungan Laskar Mujahidin Mujadhidin Divisi X Cik Di Tiro ke dalam kesatua-kesatuan Tentara Nasional Indonesa.
Dari pernyataan resmi keduanya, diperoleh keterangan begini:
“Menginsyafi suasana yang meliputi negara kita dewasa ini menghendaki tenaga perjuangan dibulatkan menjadi satu tenaga yang kuat di bawah satu komando dalam arti yang sebenarnya. Menimbang bahwa usaha ke jurusan pembentukan Tentara Nasional Indonesia sudah semenjak Desember 1947 dan telah berjalan melalui beberapa fase serta membaca surat Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, akhirnya diputuskan Laskar Mujahidin Divisi X Cik Di Tiro sejak tanggal 1 Juni 1948 telah bergabung dalam kesatuan Tentara Nasional Indonesia.”
Apa yang berlangsung di Aceh menjadi preseden yang bagus bagi kehidupan sosial politik di Aceh. Keberadaan laskar-laskar bersenjata yang dikelola dan dipelihara oleh oranisasi-organisasi keagamaan atau partai politik, yang berada di luar jalur komando Tentara Nasional Indonesia, kerap menyumbang lahirnya ketegangan-ketegangan yang tidak perlu.
Sayangnya, preseden yang dengan begitu baiknya ditunjukkan di Aceh itu tak menular ke Jawa. Di sana, laskar-laskar partikelir justru bermunculan dengan riuh seiring lahirnya organisasi sosial, keagamaan maupun partai politik. Laskar-laskar tersebut, misalnya di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, menjadi bagian signifikan dari persaingan dan ketegangan politik di sekitar daerah tersebut.
Di sana ada Pemuda Sosialis, organisasi kepemudaan milik Partai Sosialis pimpinan Amir Sjarifuddin, yang kerap melakukan razia dan menangkapi orang-orang yang dianggap musuh bagi perjuangan anti-kolonialisme. Mereka kerap bersinggungan dan terlibat dalam pertempuran berskala kecil dengan Laskar Hizbullah yang merupakan organisasi bentukan Masjumi. Di luar itu, masih ada laskar bersenjata yang tidak kalah signifikannya yaitu Laskar Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi yang cenderung berafiliasi dengan klik Tan Malaka.
Kebetulan, di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta pada saat itu sedang kedatangan pasukan Divisi Siliwangi yang sedang melakukan hijrah menyusul ditetapkannya Garis van Mook. Kenyataan bahwa Siliwangi kadang tidak bisa sepenuhnya diterima oleh anggota TNI lainnya membuat peta keberadaan laskar-laskar bersenjata yang resmi dan tidak resmi menjadi kian kompleks.
Ketika Hatta naik menjadi Perdana Menteri pada 1948 menggantikan Amir Sjarifuddin, dilansirlah kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi tentara yang mengurangi jumlah tentara Indonesia. Kebijakan ini memicu rasa tidak puas dan perasaan dicampakkan dari sebagian kalangan karena merasa andil besar mereka dalam perjuangan bersenjata menghadapi Belanda tidak diharga pemerintah. Dari sinilah laskar-laskar bersenjata makin meruyak di mana-mana. Mereka kadang tidak berafiliasi pada satu organisasi tertentu, tetapi bergerak atas dasar kesetiaan pada komandannya.
Tidak mengherankan jika kerap muncul bentrokan bersenjata yang jelas kontra-produktif. Peristiwa Madiun 1948, misalnya, menjadi salah satu puncak dari perseteruan laskar-laskar bersenjata tersebut. Dengan ditopang oleh keberadaan laskar militan Pemuda Sosialis (organisasi kepemudaan Partai Sosialis) yang dipersenjatai, PKI/FDR merebut Madiun secara sepihak.
Kebiasaan membentuk onderbouw yang bercorak semi-militer trnyata terus berlanjut hingga kini. Lazim dijumpai partai politik atau Ormas memiliki onderbouw macam itu, komplit dengan uniform yang berbau militer berikut rangkaian pelatihan semi-militer. Organisasi seperti ini kerap terlibat dan melibatkan diri dalam konflik-konflik lokal, seperti perebutan lahan-lahan strategis (lahan parkir), dan sering pula diikutkan untuk “meramaikan” sengketa politik di tingkat elit.
No comments:
Post a Comment