Presiden jadi Raja
22 Mei 1963, Hari ini, di Bandung, Sidang Umum Kedua MPRS II secara resmi ditutup. Ini adalah Sidang Umum MPRS yang kedua kalinya diselenggarakan di Bandung, setelah Sidang Umum MPRS I pada 1960. Sidang Umum MPRS III pada 1965 menjadi sidang MPRS terakhir yang digelar di Bandung.
Ada dua ketetapan penting yang dihasilkan MPRS pada sidang umumnya yang ke-II. Pertama, menetapkan Pedoman-pedoman Pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan lewat Tap MPRS Nomor IV/1963. Kedua, menetapkan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.
Dengan penetapan itu, lengkaplah sudah status Soekarno sebagai Presiden berikut pelbagai gelar yang sebelumnya sudah melekat pada namanya. Jika gelar-gelar itu dideretkan, maka jadinya kurang lebih seperti ini: Paduka Jang Mulia Pemimpin Besar Revolusi DR. (HC) Ir. H. Soekarno. Itu belum termasuk gelar Penjamboeng Lidah Rakjat dan gelar-gelar yang diberikan sejumlah komunitas adat di Indonesia. Namanya juga diabadikan sebagai nama stadion di Senayan yang pada masanya menjadi stadion terbesar dan termegah di Asia dan Afrika.
Penetapan Soekarno sebagai Presiden bisa dipastikan tak mungkin terjadi pada era demokrasi parlementer. Bukan hanya karena sistem tata negara Indonesia kala itu bukan presidensial, tetapi yang jauh lebih penting adalah konstelasi di parlemen, baik sebelum maupun sesudah Pemilu 1955, yang masih dipenuhi lawan-lawan politik dan ideologis Soekarno.
Penetapan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup pada Sidang Umum MPRS ke-II di Bandung menjadi sangat mudah dilakukan karena komposisi MPRS, baik itu jumlah anggota hingga nama-nama anggota MPRS dan DPR Gotong Royong (GR), ditentukan oleh Soekarno sendiri. Menyusul Dekrit Presiden 1959, komposisi parlemen dikocok ulang (dalam istilah masa itu: diretool), dengan tidak mengikutsertakan Masjumi dan PSI yang menjadi lawan utama Soekarno.
Pada level politik kenegaraan, penetapan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup menjadi puncak dari laku politik otoritarian seorang Soekarno. Lewat konsepsi Demokrasi Terpimpin yang ia klaim sebagai cermin kepribadian asali bangsa Indonesia, Soekarno muncul tidak hanya sebagai seorang Presiden, tetapi nyaris seperti seorang Raja. Penetapan dirinya sebagai Presiden seumur hidup menegaskan lahirnya Soekarno sebagai Presiden sekaligus Raja.
Hanya seorang raja yang bisa memimpin sebuah negara tanpa suksesi. Dan Soekarno memang menyiapkan dirinya untuk tampil sebagai Paduka yang Mulia, lengkap dengan atribut kemiliteran seperti jas yang dipenuhi tanda bintang yang ia sematkan sendiri, tongkat komando berikut peci hitam yang selalu ia kenakan ke mana-mana. Dan seperti juga seorang raja, semua titah Soekarno nyaris tak bisa terbantah dan dibantah. Titahnya nyaris menjadi hukum.
Bandung adalah satu-satunya tempat yang memungkinkan Soekarno mengunduh “wahyu kraton” yang sebenarnya bukan miliknya itu. Soekarno tidak mungkin menggelar Sidang Umum MPRS yang akan mengesahkan kekuasaannya yang tak terbatas di Surakarta atau Yogyakarta karena di dua tempat itu bercokol dua raja Jawa dalam bentuknya yang denotatif. Soekarno hanya mungkin mengunduh “wahyu kraton” itu di Bandung.
Bukan karena di Bandung tidak ada satu pun raja, tetapi memang di Bandung-lah Soekarno mulai muncul ke pentas pergerakan nasional. Di Bandung-lah Soekarno menjelma sebagai messiah bagi rakyat jelata lewat pidato-pidatonya yang menggelegar pada rapat-rapat akbar PNI di akhir 1930-an.
Di Bandung pulalah Soekarno mementaskan salah satu dramaturgi terbaiknya sewaktu membacakan pledoi Indonesia Menggugat di gedung Landraad. Di kota itu pulalah Soekarno tampil di pentas pergaulan dunia melalui Konfrensi Asia-Afrika yang termasyhur itu.
Bandung adalah pusat kosmos tempat di mana Soekarno bisa memulung semua energi yang ia inginkan karena dari sanalah mitos kebesaran Soekarno pertama kali dianyam.
No comments:
Post a Comment