Leluhur Kaum Etik
23 Mei 1848, Hari ini, di Batavia, muncul unjuk rasa yang dipimpin Wolter Robert van Hoevel. Unjuk rasa yang kelak dikenal sebagai “Gerakan Mei” ini menuntut hak-hak untuk berserikat, berkumpul, memilih agama dan kebebasan pers yang lebih luas.
Gubernur Jenderal JJ Rochusen dikabarkan begitu gusar. Daripada ditangkap, Hoevel memilih untuk pulang ke Belanda dan berjanji akan nengungkap kebobrokan birokrasi kolonial di tanah airnya sendiri. Setahun kemudian, setelah diangkat sebagai anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah), van Hoevel memenuhi janjinya itu.Gerakan Mei yang dipimpin van Hoevel muncul akibat berlangsungnya Revolusi Februari 1848 di Eropa. Revolusi 1848 bermula dari Prancis ketika Raja Louis Philip lari ke Inggris yang menyebabkan munculnya konstitusi yang lebih demokratis di Prancis. Sejak itu, gelombang demokratisasi dan liberalisasi sistem pemerintahan melanda Eropa, tak terkecuali Belanda.
Pada 1848 lahir Grondwet (UUD) 1848 yang mengubah Belanda menjadi monarki parlementer. Kabinet yang ditunjuk Raja Belanda wajib bertanggungjawab pada parlemen. Kewenangan anggaran pun diserahkan pada parlemen. Belanda berubah menjadi negara hukum yang secara tegas memisahkan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan perubahan itu, rakyat Belanda pun punya hak untuk mencampuri praktik kolonialisme di Hindia Belanda.Perubahan itu disambut hangat oleh para pegawai di Hindia Belanda. Mereka mengecam penyelewengan kekuasaan para pejabat kolonial. Tuntutan memerluas hak, akses dan kualitas pendidikan, baik orang Eropa maupun bumiputera, muncul pertama kali dari kelompok ini.
Protes-protes itu menemukan gaungnya setelah van Hoeven ikut aktif dalam gelombang protes tersebut. Van Hoevel adalah Presiden Bataviasch Genootschaap voor Kunsten en Wetenschappen (Perhimpunan Batavia utuk Seni dan Ilmu Pengetahuan).Begitu menjadi anggota parlemen, van Hoevel membongkar derita penduduk bumiputera. Van Hoevel mengungkapkan wabah kelaparan di berbagai daerah, seperti di Cirebon (1843), Demak (1848), Grobogan (1849) serta epidemi di Jawa Tengah (1846-1850) yang mengakibatkan jumlah penduduk Jawa merosot drastis.
Ini memercepat proses kelahiran UU Hindia Belanda yang disahkan pada 27 Oktober 1851. UU ini resminya disebut UU tentang Susunan Kenegaraan Hindia Belanda. Dua puluh tahun kemudian, kembali muncul UU Agraria (Agrarisch Wet) dan UU Gula (Suiker Wet).Tetapi van Hoevel tak sendirian. Pada 1860, persis antara lahirnya UU Hindia Belanda dengan UU Agraria, Multatuli muncul dan menggegerkan Belanda dengan romannya yang legendaris: Max Havelaar.
Multatuli menyempurnakan gelombang kejutan yang sudah dirintis oleh van Hoevel. Dari kolaborasi van Hoevel, Multatuli dan kaum liberal lainnya itulah UU Agraria dan UU Gula dilansir dan menjadi penanda awal lahirnya liberalisme di Hindia Belanda. Rangkaian peristiwa historis ini diparipurnakan oleh kebijakan politik etis yang dimulai pada 1901.Hanya saja, belakangan terbukti bahwa rangkaian reformasi itu gagal dihayati secara konsekuen menyusul mulai munculnya gerakan nasionalisme kaum bumiputera yang dimulai pada akhir dekade pertama abad 20. Pemerintah kolonial dilanda kegagapan membangun koherensi antara praktik politik etis dengan menguatnya gelombang kebangkitan bumiputera. Tidak mengherankan jika konservatisme kembai muncul di sini. Dari sinilah cerita penangkapan kaum nasionalis dan munculnya Boven Digul menemukan buhulnya.
Lewat politik etis, pemerintah kolonial memang sedikit banyak berhasil memerankan diri sebagai “guru” yang mengenalkan modernisme berikut pelbagai implikasinya pada bmiputera. Tetapi kolonialisme tetaplah kolonialisme, betapa pun etiknya mereka punya kebijakan.Seperti yang diungkapkan dengan baik oleh Raden Mas Minke, tokoh utama novel Bumi Manusia karangan Pramoedya: “Eropa (memang) tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu dan pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengalamannya.”
No comments:
Post a Comment