Boven Digul
24 Mei 1926, Hari ini, di Manokrawi, Papua, Haji Misbach wafat pada usia 50 tahun. Misbach yang lahir pada 1876 di daerah Kauman Solo ini terserang wabah malaria yang terkenal ganas. Dia dimakamkan di sebelah kuburan istrinya di kuburan Penindi, Manokrawi.
Misbach ditangkap polisi kolonial pada 20 Oktober 1923 bersama Soewarno, Moetokalimin, Hardjodiwongso dan Hardjosoemarto. Mereka semua adalah jajaran orang penting Sarekat Rakjat atau Sarekat Islam Merah. Misbach sendiri akhirnya dikirim ke Manokrawi bersama istrinya dan tiga anaknya yang masing-masing baru berusia 13, 8 dan 6 tahun.
Misbach bisa dibilang generasi pertama kaum nasionalis yang dibuang ke Papua. Pembuangan yang dialaminya ke tanah Papua 3 tahun lebih dulu ketimbang generasi kedua kaum nasionalis yang dibuang ke Papua, persisnya ke Boven Digul, menyusul pemberontakan bersenjata PKI yang gagal pada 1926.
Digul adalah ingatan tentang gelap sejarah politik Indonesia. Ia—pinjam istilah mantan digulis Hatta—adalah ‘neraka dunia’ yang diciptakan penguasa Hindia Belanda, Gubernur Jenderal De Graeff di awal-awal 1927 sebagai tempat buangan para aktivis pergerakan paling radikal di Hindia, khususnya yang terlibat dalam pemberontakan PKI pada 1926.
Sejumlah 1.308 orang ditangkap dan ditempatkan dalam pengasingan tanpa melalui pengadilan karena “tersangkut” dengan peristiwa 1926. Dari 1.308 orang buangan itu, 823 orang dikirim ke Tanah Merah, wilayah di pedalaman Papua, suatu tempat terpencil yang beriarak 500 kilometer dan daerah pantai selatan di hulu sungai Digul.
Selepas tahun 1930, Digul kembali kedatangan orang-orang buangan baru yang bukan dari PKI. Pada periode itulah, Bung Hatta dan Soetan Sjahrir yang belum begitu lama kembali dari Belanda juga dikirim ke Digul menyusul aktivitas politik mereka di Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru).
Tetapi Digul juga menjadi salah satu wajah paling buram kolonialisme Belanda. Pada masa pasca kemerdekaan, Digul bahkan menjadi salah satu isu utama dalam perdebatan di negeri Belanda ihwal buruknya standar moral pemerintah kolonial selama menguasai Hindia Belanda.
Soetan Sjahrir, dalam salah satu suratnya dari Digul, yang lantas terbit menjadi “Renungan Indonesia”, memberikan catatannya ihwal Digul. Pemikiran resmi ihwal kamp konsentrasi, tulis Sjahrir, “Belum dilembagakan, jadi masih tertinggal di belakang NAZI Jerman. Tapi Jerman mungkin saja belajar banyak tentang cara menciptakan lembaga semacam itu dengan memelajari apa yang diterapkan di Digul.”
Hipotesis yang diajukan Sjahrir bukan monopoli dirinya saja. Pada Oktober 1945, salah satu editorial koran Amerika, The New Republic. Editorial yang diterbitkan seusai pasukan Sekutu merebut Polandia dan Cekoslowakia dari cengkeraman NAZI itu menyebut Digul sebagai “salah satu kamp konsentrasi yang paling mengerikan di dunia, di rimba yang berawa, tempat berjangitnya Malaria”.
Digul memang bukan Gulag ala Stalin yang penuh dengan lampu sorot, para sipir yang siaga siang malam sembari mengokang senapan. Di Digul ada rumah ibadat, warung-warung, ‘rumah sakit’, bahkan bioskop. Jika kemudian Digul menjadi sangat menakutkan, tiada lain, karena pembunuh terbuas di sana adalah rasa bosan yang membunuh harapan. Setiap orang yang berada di sana mesti berjuang mati-matian menjaga kewarasan agar tak jatuh menjadi gila. Keterpencilannya itulah yang menciutkan nyali, tak peduli orang buangan itu sekeras kepala Marco Kartodikromo sekalipun.
Digul yang dipenuhi rawa, paya-paya dan menjadi sarang nyamuk malaria masih punya daerah yang lebih ganas, yaitu Tanah Merah. Inilah tempat di mana orang-orang buangan yang masih bandel dan enggan bekerjasama dengan pemerintan kolonial ditempatkan. Tanah Merah jauh lebih terpencil dan lebih berbahaya. Tanah Merah adalah tempat pembuangan di tanah buangan, “penjara di dalam penjara”.
Di Tanah Merah inilah Mas Marco Kartodikromo diasingkan. Di sini pula ia menemui ajalnya dalam kesunyian.
No comments:
Post a Comment