Komponis Tiga Zaman
25 Mei 1958, Hari ini, di Jakarta, komposer Ismail Marzuki wafat pada usia relatif muda yaitu 44 tahun. Lagu-lagunya yang banyak mengungkap tema perjuangan membuat namanya diabadikan sebagai nama pusat kegiatan kesenian Jakarta (Taman Ismail Marzuki) yang letaknya tak sampai 2 km dari tempat kelahirannya: Kwitang.
Popularitas Bang Maing, begitu ia akrab dipanggil, barangkali hanya sedikit “dikalahkan” WR Soepratman. Itu pun bukan dalam kategori kuantitas atau kualitas lagu, tetapi lebih dikarenakan WR Soepratman menciptakan lagu Indonesia Raya yang kelak dijadikan sebagai lagu kebangsaan.
Di luar itu, Bang Ma’ang nyaris tak tertandingi. Beberapa lagunya diingat dengan baik oleh anak-anak sekolah. Siapa tak kenal, misalnya, lagu “Gugur Bunga”, “Rayuan Pulau Kelapa” atau Halo-Halo Bandung?
Lagu-lagu bercorak perjuangan itu hanya sederat lagu dari sekira 200-an judul lagu yang diciptakannya (Katalog Ismail Marzuki: Komponis Pejuang, 1985). Jumlah itu relatif mecengangkan untuk komposer yang hanya berkiprah selama 27 tahun di bidang musik, dihitung sejak 1931 ketika Bang Ma’ing mencipta lagu pertamanya berjudul “O’ Sarinah”.
Ismail Marzuki adalah anak Betawi yang menghabiskan nyaris semua hidupnya di kampung halamannya sendiri. Dia lahir pada 11 Mei 1914 di daerah Kwitang dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya, Marzuki, adalah seorang pegawai perusahaan Ford Reparatieer TIO. Ayahnya dikenal mencintai musik dan gemar memainkan kecapi. Di rumah yang memiliki gramofon dan koleksi piringan hitam cukup melimpah itulah Ismail Marzuki berkenalan dengan musik.
Ismail Marzuki sempat bekerja sebagai kasir di Socony Service Station, sebelum banting setir menjadi penjual piringan hitam di Nordwijk (sekarang jalan Juanda). Dari sana ia berkenalan dengan banyak musisi. Setelah menciptakan lagu pertamanya pada 1931, Ismail Marzuki mulai mengenal dapur rekaman pada 1934 ketika beberapa lagunya yang banyak dilhami jenis musik jazz, hawaiia, hingga seriosa direkam di Singapura.
Lagu-lagu yang kental dengan nuansa perjuangan nasional mulai mengalir dari tangannya terutama sejak pendudukan Jepang, seperti "Rayuan Pulau Kelapa", "Bisikan Tanah Air", "Gagah Perwira", dan "Indonesia Tanah Pusaka". Kepala bagian propaganda Jepang, Sumitsu, sempat mencurigai lagu-lagu tersebut dan melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer Jepang).
Pada masa revolusi antara 1945-1949, Ismail Marzuki sempat pindah ke Bandung. Pada periode itulah ia kehilangan ayahnya yang wafat di Jakarta. Ismail Marzuki tak sempat menghadiri pemakaman ayahnya dan hanya bisa menyaksikan makam ayahnya yang ditaburi bunga-bunga. Dari sinilah lahir lagu “Gugur Bunga” yang menyayat itu. Ketika ia tinggal di Bandung, rumah tempat ia tinggal bersama istrinya terserempet mortir tentara Belanda dan malah menjadi ilham lahirnya lagu legendaris berjudul “Halo-Halo Bandung”.
Sewaktu revolusi fisik usai, Ismail Marzuki menemukan tema baru untuk diangkat dalam lagu-lagunya. Berlalunya masa-masa penuh letusan senjata in melahirkan lagu-lagu dengan tema percintaan berlatar suasana perang kemerdekaan seperti lagu "Sepasang Mata Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal Batas", "Saputangan dari Bandung Selatan", "Juwita Malam" hingga “Kopral Jono”.
3 periode sejarah yang dilaluinya memang melahirkan corak lagu yang berbeda. Zaman akhir kolonialisme Belanda yang relatif stabil melahirkan lagu dengan corak musik Barat yang kental, masa pendudukan Jepang dan revolusi fisik yang penuh kegentingan melahirkan lagu-lagu dengan tema perjuangan dan masa kemerdekaan yang mulai menjauh dari letupan senapan melahirkan lagu cinta berlatar perang yang menguarkan aura nostalgik yang kuat.
Ismail Marzuki adalah cermin seorang seniman yang proses kreatifitasnya amat dipengaruhi suasana dan situasi zaman.
No comments:
Post a Comment