Saturday, May 26, 2007

Ijazah dan Politik

26 Mei 1926, Hari ini, di Bandung, tiga orang mahasiswa bumiputera secara resmi diwisuda di Technische Hoogeschool (cikal bakal Institut Teknologi Bandung). Tiga mahasiswa itu, bersama belasan mahasiswa lainnya, secara resmi menyandang gelar insinyur. Salah satu dari tiga mahasiswa bumiputera itu adalah Soekarno.

Ketika menyerahkan ijazah, Rektor Technische Hoogeschool, Prof. Klopper, berucap: “Soekarno, een diploma is een vergangkelijk stuk papier. Het is niet onsterfelijk! Bedenk dat alleen het karakter van een mens eeuwig is. De herimnering daaraan duurt voort, lang nadat hij is gestorven.”

Prof. Kloeper menasehati bahwa ijazah adalah ijazah. Dia tak lebih sehelai kertas yang bisa jadi tak banyak menolong. Seseorang dikenang bukan karena ijazahnya, kata sang Rektor, tetapi karena karakternya. Prof. Kloeper sepertinya tak meleset. Siapapun, kendati tahu Soekarno adalah insinyur, mula-mula ingat Soekarno sebagai Presiden yang mantan aktivis pergerakan, bukan sebagai insinyur.

Keberhasilan Soekarno meraih gelar insinyur bisa dibilang mengejutkan. Aktivitas Soekarno yang disibukkan kegiatan politik sudah menjadi rahasia umum. Manusama, alumnus Technische Hoogeschool yang pernah terlibat dalam gerakan Republik Maluku Selatan, pernah memberi kesaksian bahwa banyak Guru Besar di Technische Hoogeschool yang menyebut Soekarno terlalu banyak terjun ke arena politik praktis.

Inggit Garnasih, istrinya yang berusia lebih tua dari Sekarno, berperan besar dalam kelulusan Soekarno. Dialah yang terus mengingatkan bahwa gelar insinyur sama penting dengan aktivitas politik. Bukan demi gelar insinyur itu sendiri, tetapi untuk menunjukkan bahwa Soekarno punya intelegensia sekaligus kedisiplinan. Lagipula, hanya dengan menyelesaikan kuliah dengan baik, pihak kampus tak bisa berbuat macam-macam terhadap ativitas politik Soekarno.

Begitu juga Muhammad Hatta. Hatta yang aktif dalam Perhimpunan Indonesia, Liga Anti-Imperialisme dan sempat ditahan di penjara, berhasil menggondol gelar doktorandus kendati menghabiskan masa studi lebih panjang yaitus 13 tahun (1921-1932) yang diselingi dua kali perpanjangan masa studi.

Studi dan politik adalah dua mata sisi mata uang yang cukup rumit dihadapi para mahasiswa Hindia Belanda yang punya ketertarikan di bidang politik. Soekarno dan Hatta berhasil melewatinya dengan baik. Tetapi tidak sedikit yang gagal.

Soetan Sjahrir bisa dijadikan contoh. Selepas menyelesaikan studi di AMS Bandung, pada 1929 ia berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi di Fakultas Hukum (Gemeentelijke), Universitas Amsterdam. Di Belanda, Sjahrir lebih banyak disibukkan studi-studi di luar bidang kuliah yang dipilihnya. Sjahrir lebih banyak menyuntukkan diri dengan membaca buku-buku tentang sosialisme, politik, dan literatur kebudayaan yang ditulis para pemikir Eropa.

Tetapi, seperti yang juga dikatakan Rektor Technische Hoogeschool, Prof. Klopper, pada hari wisuda Soekarno, tiadanya ijazah tak membuat kesempatan hidup menjadi tertutup, karena orang akan dikenang karena karakternya. Dan itulah yang ditunjukkan Sjahrir. Namanya melesat ke langit-langit pergerakan nasional dan politik Indonesia pasca proklamasi lebih karena intuisi politiknya yang tajam sekaligus kejernihan intelektualnya yang membuat ia dikagumi anak-anak muda dari kalangan intelektual yang jumlahnya terbatas.

Salah satu diantara anak muda itu adalah Soedjatmoko, yang juga gagal menyelesaikan studi kedokterannya, tapi akhirnya masyhur sebagai inteketual dan generalis dengan reputasi internasional.

Kisah-kisah di atas, berikut nasehat Prof. Kloeper kepada Soekarno, bisa dibaca sebagai isyarat bahwa universitas semestinya mampu menggelar pendidikan yang membangun karakter manusia pembelajar yang terus mau belajar dan memerdalam wawasan. Karakter inilah akan menjadi kunci keberhasilan menghadapi hidup yang sulit. Lebih dari apa pun.

No comments:

_____________________________________ Jurnal