Monday, May 28, 2007

Parade Gagasan Indonesia

28 Mei 1945. Hari ini, di Jakarta, Penyelidik Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) secara resmi dilantik. Peristiwa ini menjadi salah satu fase paling genting dalam sejarah politik Indonesia, baik sebagai sebuah praktik maupun sebagai sebuah gagasan.

Munculnya BPUPKI tak lepas dari konteks politik internasional di mana kedudukan Jepang di Asia Pasifik terdesak di pelbagai front pertempuran Perang Dunia II. Hayashi, pemimpin Jepang di Indonesia, menyarankan pemerintahnya untuk menjanjikan kemerdekaan. Jika tak ada janji kemerdekaan, dikhwatirkan para pemimpin Indonesia akan berbalik melawan Jepang, menyusul tekanan ekonomi yang tak tertanggungkan rakyat Indonesia akibat Perang Dunia II yang menyita begitu banyak biaya dan tenaga.

Saran ini ternyata diterima Pemerintah Jepang. Di depan sidang parlemen Jepang ke-85, Perdana Menteri Jepang, Koiso, mengumumkan bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan dalam waktu dekat.

BPUPKI adalah tindak lanjut janji yang dilansir itu. Komposisi BPUPKI sendiri dibentuk pada 9 April 1945, Panitia ini dilantik secara resmi pada 28 Mei 1945 dan Dr Radjiman Wedyodiningrat ditunjuk sebagai ketua BPUPKI.

Pada pelantikan BPUPKI, wakil pemerintahan balatentara Jepang di Indonesia meminta agar BPUPKI mengadakan penelitian yang cermat dan seksama terhadap dasar-dasar yang akan digunakan sebagai landasan negara Indonesia merdeka sebagai suatu mata rantai dalam lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya.

Sementara dalam pidato pembukaannya, dr. Rajiman antara lain mengajukan historis yang sudah ditunggu-tunggu oleh kebanyakan angota BPUPKI, terutama oleh Soekarno dan Yamin: “Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?”

Penunjukkan Radjiman sebagai ketua BPUPKI terhitung mengejutkan. Selama ini, Soekarno-Hatta lebih banyak diketahui umum sebagai salah dua pemimpin Indonesia yang terpenting. Soekarno sendiri menerima kenyataan tersebut dengan alasan bahwa status anggota justru akan membuatnya lebih leluasa berdiskusi, menyampaikan argumen dan pandangan, ketimbang menjadi ketua yang akan banyak disibukkan sejumlah perkara teknis.

Tetapi, cukup jelas, penunjukkan Radjiman sebagai ketua menjadi gambaran bagaimana Jepang mencoba bermain aman. Jepang ingin memastikan bahwa BPUPKI, setidak-tidaknya, tak akan menghasilkan keputusan-keputusan yang merugikan kepentingan mereka. Seperti yang ditunjukkan Taufik Abdullah, komposisi BPUPKI yang dipilih Jepang memang lebih mencerminkan konservatisme. Mayoritas anggota BPUPKI adalah para mantan pegawai kolonial Belanda yang punya kecenderungan dan afiliasi politik yang lebih lunak.

Kendati demikian, terbukti bahwa Jepang tak sepenuhnya bisa pegang kemudi. Dua sesi sidang BPUPKI (29 Mei 1945-1 Juni 1945 dan 22 Juni 1945) kemudian dipenuhi oleh debat yang serius. Tempaan yang membentuk tradisi polemik intelektual yang dipelihara selama masa pergerakan membuat sebagian terbesar anggota BPUPKI mampu mengajukan konsep-konsep ihwal dasar negara dengan cukup matang dan serius. Soepomo, Yamin, Soekarno, dan Hatta menonjol dalam sesi-sesi perdebatan itu dan menunjukkan diri sebagai salah sedikit orang yang punya visi negara yang terkonsep dengan cukup sistematis.

BPUPKI seperti menjadi pentas “pertarungan” visi dan ideologi politik yang bertahun-tahun sebelumnya menjadi titik-titik kisar pergerakan kebangsaan. Debat dalam BPUPKI mencerminkan peta bumi ideologi politik Indonesia yang bisa membantu menjelaskan pelbagai konsensus, koalisi sekaligus konflik dan perpecahan di antara aktivis dan organisasi pergerakan.

Bersama dengan sidang-sidang Konstituante pasca Pemilu 1955, BPUPKI menjadi pucuk-pucuk pertarungan visi politik dan ideologi di Indonesia. Inilah parade sekaligus extravaganza gagasan (tentang) Indonesia. Kedua momen itu menjadi mata air pencerahan: bahwa Indonesia bukan lahir semata karena koinsidensi, melainkan lahir dari kolase gagasan yang direnungkan dengan serius.


No comments:

_____________________________________ Jurnal