Tuesday, May 29, 2007

Resolusi Bandung

29 Mei 1948. Hari ini, di Bandung, digelar Konferensi Negara Federal yang dihadiri wakil negara bagian yang memisahkan diri dari Republik Indonesia. Konferensi Negara Federal ini dipimpin Perdana Menteri Negara Pasundan, Mr. Adil Puradiredja.

Salah satu konsensus yang dihasilkan konferensi ini adalah pembentukan Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). BFO merupakan semacam badan permusyawaratan federal di luar Republik Indonesia. Lembaga ini diharapkan bisa menjadi Badan Federasi yang didalamnya kelak Republik Indonesia bisa ikut bergabung. Pada konferensi tersebut Sultan Hamid II dari Pontianak disepakati sebagai ketua BFO.

Konferensi Negara Federal di Bandung juga menyepakati rencana digelarnya konferensi yang sama dua bulan berikutnya. Konferensi jilid II terlaksana pada 12 Juli 1948 dan dihadiri akil-wakil Negara/Kepala Daerah dan Perdana Mentri negara-negara bagian. Konferensi Negara Federal II ini melahirkan kesepakatan untuk mengusahakan terbentuknya Negara Indonesia Serikat, selambat-lambatnya pada 1 Januari 1949. Selain itu, disepakati juga rencana pembentukan Pemerintahan Interim Federal yang akan dipimpin oleh lembaga semacam direktorium.

Mereka menyebut konsensus yang diambil selama Konferensi Negara Federal II tersebut sebagai “Resolusi Bandung”.

Pemerintah Republik Indonesia yang baru mengalami suksesi dari Amir Sjarfuddin ke tangan Mohammad Hatta praktis tak bisa berbuat banyak untuk menghambat bergulirnya wacana dan gerakan politik yang menginginkan federalisme. Peristiwa Madiun yang melibatkan PKI/Front Demokratik Rakyat (FDR) dan resistensi militer atas ide reorganisasi tentara membuat pemerintahan Hatta tak memiliki banyak pilihan.

Di sisi lain, gagasan federalisme terus berhembus makin kencang. Pada November tahun yang sama, hanya dua bulan usai peristiwa berdarah di Madiun, Konferensi Negara Federal jilid III kembali digelar. Konferensi yang berlangsung di Bondowoso dari 16 November sampai tanggal 3 Desember 1948 itu bahkan diikuti Negara Jawa Timur yang baru saja memroklamirkan diri. RTP Achmad Kusumonegoro datang ke Konferensi Negara Federal III mewakili Negara Jawa Timur yang baru terbentuk itu.

Wacana federalisme memang bukan hal yang sepenuhnya asing dan baru. Mohammad Hatta sudah menawarkan federalisme sebagai bentuk negara pada sidang-sidang BPUPKI beberapa bulan sebelum proklamasi.

Pemerintah RI yang masih jauh dari stabil dan kekuasaan de facto Belanda di sejumlah daerah di luar Jawa dimanfaatkan betul oleh Belanda untuk melansir gagasan federalisme. Van Mook berada di belakang layar menguatnya tuntutan federalisme. Gubernur Jenderal Belanda yang berkedudukan di Malino, Sulawesi Selatan, tu menggulirkan wacana federalisme sedari pertengahan tahun 1946.

Pada 15 Juli 1946, Van Mook menyelenggarakan suatu konferensi yang dihadiri oleh utusan-utusan dari berbagai daerah yang masih berada di bawah pendudukan militer Belanda, seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bangka-Belitung, Riau, Sulawesi Selatan, Minahasa, Menado, Bali, Lombok, Timor, Sangihe-Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan dan Papua.Konferensi inilah yang jadi batu tapal pertama bergulirnya wacana federalisme.

Puncak dari wacana federalisme berlangsung pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, yang digelar pada Desember 1949 menyusul tekanan dunia internasional pada Belanda untuk kembali ke meja perundingan. Salah satu klausul yang disepakati dalam perundingan itu oleh pemerintahan kedua negara adalah dibentuknya Negara Indonesia Serikat (RIS). RIS sendiri tak berumur lama karena pada 17 Agustus 1950 muncul konsensus untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Harus diakui, strategi van Mook dengan menggulirkan ide federalisme menjadikan wacana federalisme dilekati konotasi politis yang negatif. Sampai dasawarsa kedua kemerdekaan, cap federalis masih biasa diasosiasikan sebagai kaki-tangan Belanda, separatisme, pendukung PRRI/Permesta, pengadu domba, dan kontra-revolusi.

No comments:

_____________________________________ Jurnal