Tak Ada Konsensus
30 Mei 1959. Hari ini, di Jakarta, Dewan Konstituante menggelar rapat paripurna yang mengagendakan voting terhadap usulan kembali ke UUD 1945 (tanpa perubahan sedikitpun) sesuai usulan pemerintah. Voting ini digelar di bawah bayang-bayang ancaman kegagalan Konstituante menghasilkan konsensus.
Voting pada pengujung Mei tersebut merupakan tindak-lanjut dari voting yang digelar Dewan Konstituante pada 22 April 1959. Voting tersebut merupakan respons atas mosi yang diajukan KH Masjkur, Ketua Fraksi Islam, yang menginginkan agar 7 kata yang termaktub dalam Jakarta Charter (“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”) dimasukkan kembali dalam Preambule UUD 1945.
Seperti tercermin dari komposisi anggota Konstituante, mosi KH Masjkur dengan gamblang ditolak oleh mayoritas anggota Konstituante. Dari 470 orang anggota Konstituante yang hadir, 265 suara menolak mosi dan 201 menerima mosi. Angka tersebut sangat jauh dari syarat 2/3 total suara anggota Konstituante.
Voting pada 30 Mei, yang bertujuan untuk mengambil sikap atas usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tanpa perubahan, juga gagal memenuhi syarat 2/3 total suara. Dari 468 anggota yang hadir, 269 suara menerima dan sisanya (199 suara) menolak usulan pemerintah.
Tiga hari berselang, pada 1 Juni 1959, bertepatan dengan tanggal di mana Soekarno berpidato tentang Pancasaila pada sidang BPUPKI menjelang proklamasi, voting dengan materi yang sama kembali digelar. Hasilnya masih jauh dari 2/3 total suara. Hanya 264 suara menerima usulan pemerintah dan sisanya (204 suara) menolak. Keesokan harinya, pada 2 Juni 1959, voting ketiga lagi-lagi digelar dengan hasil yang tak berbeda. 263 suara menerima dan 203 menolak. Komposisi itu jauh dari syarat 2/3 total suara.
Empat voting yang digelar menyangkut dasar negara pada April, Mei dan Juni 1959, yang secara menunjukkan kegagalan Konstitante membangun konsensus, secara benderang menjelaskan krisis konstitusi yang melanda Indonesia.
Beberapa anggota Konstituante terang-terangan menyarankan Konstituante membubarkan diri. Banyak di antara mereka yang menyatakan tidak akan menghadiri sidang-sidang Konstituante berikutnya, kendati Fraksi Islam sendiri masih berharap agar Konstituante bisa kembali bersidang.
Tapi harapan hanya tinggal harapan. Bukan pekerjaan mudah mengumpulkan kembali anggota Konstituante yang telanjur dilumuri pesimisme dan keletihan akibat kebuntuan mencari konsensus politik dan ideologis.
Situasi makin sulit, terkhusus bagi Fraksi Islam di Konstituante, menyusul dikirimnya kawat oleh militer Indonesia dan Soewirjo (Ketua Umum PNI) kepada Soekarno yang sedang melawat ke Jepang. Kawat itu menyarankan agar Presiden Soekarno langsung mendekritkan saja pemberlakuan kembali UUD 1945. Dekrit yang ditunggu-tunggu itu pun keluar pada 5 Juli 1959.
Di satu sisi, dekrit itu berhasil menyelesaikan krisis konstitusi yang akut. Tetapi di sisi lain, dekrit itu dicurigai (dan kelak terbukti) sebagai solusi yang justru akan melahirkan krisis baru yang lebih akut: otoritarianisme.
Dalam alam demokrasi, pemungutan suara (voting) memang bukan hal tabu. Voting merupakan mekanisme untuk membangun konsensus, seperti juga mufakat dalam musyawarah. Keduanya menjadi bagian dari demokrasi dengan kekuatan dan kelemahannya masing-masing.
Kegagalan membangun konsensus politik dan ideologis, harus diakui, juga menjadi sesuatu yang dimungkinan dalam alam demokrasi. Ironisnya, kegagalan membangun konsensus dalam alam demokrasi bisa berujung pada lahirnya otoritarianisme. Persis seperti kemacetan di Konstituante yang justru membuka jalan lahirnya Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin yang membekukan demokrasi yang dibangun dengan susah payah itu.
Kita mencatat dan mengingat hal itu dengan sedih. Mungkin juga masygul.
No comments:
Post a Comment