Bahasa sebagai Aspal
28 Juni 1938. Hari ini, 69 tahun silam, Kongres Bahasa Indonesia yang digelar di Surakarta secara resmi berakhir. Kongres ini punya nilai historis yang tinggi karena inilah pertama kalinya digelar sebuah Kongres Bahasa Indonesia. Arti penting lain dari Kongres Bahasa Indonesia I ini terletak pada upayanya untuk menjawab tantangan yang diberikan oleh Sumpah Pemuda 1928.
Kita tahu, Sumpah Pemuda secara eksplisit menguarkan keyakinan sekaligus konsensus untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Keyakinan yang berbentuk konsensus itu mesti dijabarkan secara konseptual lebih dulu. Penjabaran itu, mau tidak mau, mesti menjawab pertanyaan: mampukah bahasa Melayu yang selama ini dijadikan bahasa sehari-hari, bahasa percakapan, atau bahasa lisan bisa menjadi bahasa pemersatu yang bisa digunakan dalam segala situasi?
Jika dipertajam, pertanyaan di atas akan melahirkan pertanyaan lanjutan, seperti: seberapa canggih bahasa Indonesia digunakan dalam situasi resmi dan tak resmi? Bisakah bahasa Indonesia digunakan dalam diskursus akademik atau ilmu pengetahuan modern?
Para pembicara dan peserta kongres selalu bersemangat untuk membuktikan bahwa bahasa Indonesia punya kemampuan potensi untuk digunakan dalam pelbagai bidang, termasuk dalam sains. Itulah sebabnya dalam kongres tersebut muncul untuk pertama kali kata-kata seperti “belah ketupat” atau “jajaran genjang” yang merupakan istilah dalam bidang geometri yang sebelumnya tak ada padanannya dalam bahasa Melayu.
Dalam pernyataan resminya, Kongres Bahasa Indonesia I diselenggarakan untuk mencari pedoman bagi para pemakai bahasa, mengatur bahasa, dan mengusahakan agar bahasa Indonesia dapat tersebar lebih luas. Pernyataan resmi panitia kongres itu mencuatkan pokok soal lain yaitu kenyataan bahwa bahasa Indonesia ternyata sama sekali belum diatur sehingga tampil tidak teratur.
Para pembicara yang datang bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensal bagi bahasa Indonesia. Nama-nama yang hadir sebagai pembicara di antaranya adalah Sanusi Pane, Ki Hadjar Dewantara, H.B. Perdi, Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. Muh. Yamin, Soekardjo Wirjopranoto, St. Takdir Alisjahbana, K. St. Pamoentjak, dan M. Tabrani. Sementara dalam struktur kepanitiaan, duduk dua orang yang punya reputasi besar dalam lingkungan akademik Hindia Belanda yang terbatas yaitu DR. Poerbatjaraka dan DR. Hussein Djajadiningrat.
Dalam banyak sesi diskusi, kebanyakan peserta kongres sepaham bahwa bahasa Indonesia memang berasal dari bahasa Melayu, tetapi sudah tak lagi persis denan bahasa Melayu. Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang telah mengalami banyak sekali perubahan.
Ki Hadjar Dewantara menguraikan hal itu dengan bernas. Kendati berasal dari Riau, kata Ki Hajar, bahasa Indonesia sudah “ditambah, diubah, dan dikurangi menurut keperluan zaman dan alam baru, hingga bahasa itu lalu mudah dipakai rakyat Indonesia”. Untuk itu, sambung Ki Hajar, pembaruan bahasa Indonesia harus dilakukan oleh orang-orang yang punya kesadaran baru (cedekiawan), yaitu kesadaran akan kebangsaan Indonesia.
Ki Hajar, dkk., seperti juga yang dilakukan Yamin ketika menyerukan agar bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar jauh sebelum Sumpah Pemuda 1928, memainkan peran penting dalam penemuan konsensus itu. Hanya orang-orang yang memahami dan bergantung pada arti penting kata-kata (tertulis/tercetak) sajalah –dan itu artinya kaum cendekiawan-- yang mampu mengkondisikan konsensus seperti itu bisa ditemukan.
Ki Hajar secara tepat menggambarkan bagaimana hubungan antara nasionalisme, bahasa dan kaum cendekiawan. Di negeri-negeri jajahan, nasionalisme dan bangsa selalu lahir setelah didahului oleh konsensus untuk menggunakan satu bahasa sebagai “cara-wicara-bersama” yang mampu menjembatani perbedaan.
Dari sinilah Prof. Rudolf Mrazek, dalam karya cemerlang Engginers of Happyland, menyebut “bahasa (Indonesia) sebagai aspal” yang meratakan jalan bagi berkembangnya janin nasionalisme.
No comments:
Post a Comment