Kembali ke Jogja
29 Juni 1949. Hari ini, 58 tahun silam, pasukan-pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali memasuki Yogyakarta setelah berbulan-bulan menggelar perang gerilya di sekitar kota Yogyakarta.
Kembalinya TNI ke kota Yogyakarta dimungkinkan setelah pemerintah Indonesia dan Belanda menadatangani Persetujuan Roem-Royen pada 7 Mei 1949. Pada kesempatan itu, pemerintah Belanda diantaranya menyatakan persetujuan atas kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta dan menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik, termasuk para pemimpin Indonesia yang ditawan di Bukittingi dan Bangka.
Klausul itulah yang memungkinkan prajurit TNI secara massal kembali ke Yogyakarta. Sebelum TNI kembali memasuki Yogyakarta, tentara Belanda ditarik lebih dulu dari Yogyakarta mulai 24 Juni hingga 29 Juni. Penarikan tentara Belanda itu diawasi langsung oleh badan bentukan PBB yaitu United Nation Commission on Indonesia(UNCI).
Pada hari terakhir penarikan tentara Belanda itu pulalah TNI secara bertahap mulai kembali memasuki kota Yogyakarta yang telah ditinggalkan selama kurang lebih setengah tahun. Proses kembalinya TNI ke kota Yogyakarta diawali laporan oleh Letkol. Soeharto sebagai Komandan Batalyon Wherkreise III kepada Sri Sultan Hamengkubuwana IX bahwa pasukan TNI hari itu juga sudah siap kembali ke Yogyakarta.
Prosesi penarikan tentara Belanda yang diikuti oleh kembalinya TNI ke Yogyakarta berjalan dengan mulus dan bisa dibilang tanpa insiden yang cukup berarti. Inilah yang membuat prosesi kembalinya pemimpin Indonesia dari tahanan Belanda bisa berlangsung lebih cepat, tepatnya pada 6 Juli 1949.
Kembalinya TNI kembali ke Yogyakarta ini disambut hangat oleh warga kota Yogyakarta. Di ruas-ruas jalan tertentu, seperti di daerah Pengok, rakyat berjejer di sepanjang jalan mengelu-elukan prajurit TNI.
Prajurit TNI yang menggelar perang gerilya ini tergabung pada Batalyon Wherkreise III. Batalyon-batalyon gerilya ini dibentuk secara darurat berdasar instruksi Kolonel Nasution yang bertindak sebagai Panglima Tentara dan Teritorial Jawa pada 25 Desember 1949, enam hari setelah Agresi Militer II.
Nasution mengeluarkan instruksi Nr. 1/MBKD/1948 yang isinya mengenai pembentukan Pemerintahan Militer di seluruh Jawa. Divisi III di bawah Kol. Bambang Soegeng bermarkas di Desa Kaliangkrik membentuk daerah perlawanan dalam bentuk Wehrkreise (WK) dan Subwehrkreise (SWK). Kol. Bambang Soegeng sejak September 1948 juga telah diangkat menjadi Gubernur Militer daerah III.
Salah satu keputusannya adalah mengangkat Letnan Kolonel Soeharto sebagai komandan Wehrkreis III yang meliputi Yogyakarta dengan Pos Komandonya di Pegunungan Menoreh.
Inilah cikal bakal perlawanan rakyat Yogyakarta terhadap pendudukan Belanda atas ibukota Yogyakarta. Perlawanan rakyat Yogya ini berlangsung secara gerilya dan simultan, serta terjadi di nyaris semua tempat di sekeliling kota Yogyakarta.
Beberapa hari setelah memulai aksi gerilya, para para gerilyawan berhasil membuka komunikasi dan surat menyurat dengan pimpinan sipil di Yogyakarta. Jalur radio dan telegram juga dapat difungsikan dalam waktu relatif singkat.
Dengan cara estafet, pemberitaan melalui radio dari Gunung Sumbing dan pegunungan Menoreh bisa mencapai New York, antara lain melalui pemancar radio AURI di Playen, ke Bukittinggi, kemudian diteruskan ke Kotaraja. Siaran dari Kotaraja ini dapat ditangkap di Singapura dan Burma yang kemudian dapat ditangkap di New Delhi, India.
Salah satu prestasi besar yang dicapai oleh gerilyawan TNI adalah keberhasilan menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam pada 1 Maret 1949. Serangan mendadak yang dilakukan sejak jam 6 pagi berhasil memulihkan eksistensi TNI yang sebelumnya diklaim Belanda sudah hancur dan tak berfungsi.
No comments:
Post a Comment