Satu Mata Air
30 Juni 1913. Hari ini, 94 tahun silam, pemerintah Hindia Belanda akhirnya mengambil keputusan ihwal status Sarekat Islam (SI) yang sebelumnya sudah dibekukan pada 10 Agustus 1912. Pembekuan itu diambil menyusul serangkaian aksi-aksi sepihak anggota-anggota SI yang meresahkan pemerintah, para pemilik perkebunan dan pejabat-pejabat Jawa.
Hoofdbestuur SI lantas memanggil Tjokroaminoto ke Surakarta. Bersama Tjokrosoedarmo dan notaris bernama Dommering, Tjokro menyusun Anggaran Dasar SI yang baru. Keputusan menyusun Anggaran Dasar yang baru diambil untuk menyiasati pembekuan SI. Mereka beralasan, pembekuan hanya berlaku kepada SI yang Anggaran Dasar-nya disusun Tirtoadisoerjo pada 1911.
Tetapi pemerintah Hindia Belanda tampak enggan memberi respons. Pemerintah menunda-nunda untuk mengesahkan Anggara Dasar itu dan pada saat yang sama juga tak segera menolak tawaran Anggaran Dasar yang baru itu.
Pada babakan sejarah yang penting itulah, SI yang sudah dibekukan terus bergerak di bawah tanah. Anggota-anggota SI terlibat serangkaian perkelahian dan kerusuhan dengan orang-orang Tionghoa.
Di sebuah perkebunan Klaten, seorang kuli yang juga anggota SI melapor pada pemimpin SI setempat bahwa seorang mandor telah menghinanya. Pengurus SI setempat lantas mengirim 17 orang bersenjata untuk mendatangi mandor tersebut dan memaksanya menarik ucapannya yang menghina.
Ini pula yang menyebabkan organisasi-organisasi anti-SI dibentuk di berbagai tempat dengan dukungan pegawai administratif pemerintah. Para pemilik perkebunan memekerjakan para jawara untuk mengamankan obyek-obyek vital perusahaan mereka dari “gangguan” orang-orang SI.
Pemerintah Hindia Belanda mau tak mau akhirnya harus mengambil sikap atas pengajuan Anggaran Dasar SI yang baru yang disusun oleh Tjokro.
Ada tiga pilihan yang bisa diambil pemerintah. Satu, membubarkan SI. Dua, mengakui Anggaran Dasar SI dan memberi status perkumpulan pada SI. Ketiga, memberikan pengakuan pada SI-S lokal dan menolak kemungkinan munculnya satu SI yang bersatu.
Pemerintah Hindia Belanda akhirnya memilih opsi yang ketiga. Keputusan itu diambil pada hari ini, 94 tahun silam, persisnya pada 30 Juni 1913. Pemerintah juga menunjuk DR. Rinkes sebagai penasihat khusus urusan pribumi, menggantikan DR. Hazeu.
Keputusan itu sendiri baru bisa disampaikan secara resmi oleh pemerintah kepada publik pada 10 Juli 1913. Residen Surakarta mengumumkan keputusan tersebut langsung di hadapan wakil-wakil Central Comite (CC) SI. Sore harinya, CC SI mengadakan rapat umum yang memutuskan menerima keputusan pemerintah dan berjanji akan memerbaharui Anggaran Dasar yang disusun sebelumnya oleh Tjokro.
Tjokro lagi-lagi ditunjuk untuk menyusun Anggaran Dasar. Rinkes menawarkan bantuan untuk membantu menyusun Anggaran Dasar tapi langsung ditolak oleh Soewardi (Ki Hadjar). Akhir Oktober tahun itu juga, Anggaran Dasar yang menyesuaikan dengan keputusan pemerintah telah selesai dibuat. SI pun memulai periodenya yang baru. SI inilah yang menjadi titik awal kemunculan Tjokro sebagai pesaing serius Samanhudi.
Momen ini menandai makin surutnya pengaruh Tirtoadisoerjo. Dialah yang mendirikan Sarekat Dagang Islamijah pada 1909 dan menjadi sosok kunci pendirian Sarekat Islam pada 9 November 1911 dengan menyusun Anggaran Dasar-nya. Dari SDI yang berubah jadi SI inilah gerakan politik Islam menemukan buhulnya.
Orang ini pula yang pada 1906 mendirikan Sarekat Prijaji, organ yang diniatkan untuk memajukan pendidikan anak-anak priyayi dan bangsawan bumiputera. Sarekat Prijaji lantas menginspirasi Dr. Wahidin dan Soetomo untuk mendirikan Boedi Oetomo pada 1908.
Jika SI adalah buhul dari gerakan politik Islam, Boedi Oetomo yang diinspirasi Sarekat Prijaji menjadi pemula dari gerakan nasionalis sekuler. Gerakan politik Islam dan gerakan nasionalis sekuler ini di kemudian hari menjadi dua kutub utama yang bersaing dalam sejarah politik Indonesia.
Dua kutub itu bersumber dari mata air yang sama: Tirtoadisoerjo, Sang Pemula.
No comments:
Post a Comment