Friday, June 22, 2007

Piagam Jakarta

22 Juni 1945. Hari ini, 62 tahun silam, preambule atau naskah pembukaan dari draft konstitusi negara berhasil disepakati oleh BPUPKI. Naskah preambule inilah yang kelak dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter).

Piagam Jakarta disusun Panitia Sembilan yang dibentuk oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Panitia Sembilan yang diketuai Soekarno terdiri atas sembilan orang anggota BPUPKI yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, Muhammad Yamin.

Panitia Sembilan dibentuk oleh BPUPKI menyusul kegagalan menemukan mufakat ihwal “dasar negara”. Di luar pembahasan bagian tersebut, BPUPKI berhasil mencapai kompromi. Hal-hal seperti bentuk negara atau batas negara relatif lebih mudah dicarikan komprominya.

Tetapi sejauh menyangkut dasar negara, mufakat sungguh sulit dicapai. Ada dua kubu yang bersitegang yaitu kubu yang menginginkan prinsip kebangsaan sebagai dasar negara dan kubu yang menginginkan agar Islam dijadikan sebagai dasar negara. Perdebatan tersebut merupakan muara dari dua cara pandang dalam memosisikan hubungan antara negara dan agama.

Seperti diuraikan dalam disertasi Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif, dari 68 anggora BPUPKI, hanya 15 orang saja yang benar-benar bisa dianggap mewakili aspirasi politik dan ideologis umat Islam. Anggota BPUPKI di luar yang 15 orang itu bisa dibilang bersepakat untuk menolak Islam dijadikan sebagai dasar negara Indonesia.

Kebuntuan itulah yang melahirkan Panitia Sembilan yang diberi tugas untuk menemukan mufakat soal dasar negara. Kubu yang menginginkan Islam dijadikan sebagai dasar negara mengirimkan empat wakilnya yaitu Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Abdulkahar Muzakir (Muhammadiyah), H.A. Salim (Penjadar), Wachid Hasjim (NU).

Panitia inilah yang pada 22 Juni 1945 melaporkan hasil kerjanya yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. 90 persen isi Piagam Jakarta masih sama dengan preambule atau Mukaddimah UUD 1945 seperti yang kita kenal sekarang. Piagam Jakarta ini pula yang melahirkan klausul berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” masuk pada Preambule UUD 1945 sebagai kompromi terhadap kelompok Islam yang bisa menerima dasar negara kebangsaan dan bukan negara berdasar Islam.

Tetapi perdebatan ternyata tak berhenti di situ. Pada sore hari 17 Agustus 1945, Hatta didatangi seorang perwira Angkatan Laut yang mengaku membawa aspirasi masyarakat Indonesia bagian timur yang keberatan dengan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Esok hari menjelang digelarnya sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Hatta membawa persoalan tersebut ke hadapan sejumlah anggota BPUPKI yang dulu bersiteguh menginginkan Islam dijadikan dasar negara. Ki Bagus Hadikusumo (dari Muhammadiyah) bersikeras agar 7 kata Piagam Jakarta tetap dipertahankan, betapa pun keras usaha Hatta dan Soekarno membujuknya. Berkat upaya Kasman Singodimedjo yang mendekati wakil-wakil Islam sajalah akhirnya kelompok Islam bisa menerima dihapusnya 7 kata dalam Piagam Jakarta itu.

Polemik ihwal dasar negara terus berlanjut pada sidang-sidang Konstituante pada dekade 1950-an, tentu saja dengan membawa-bawa isu Piagam Jakarta. Dibubarkannya Konstituante oleh Dekrit Presiden 1959 membuat perdebatan terbuka soal dasar negara mendadak terhenti.

Barangkali untuk menjawab ketidakpuasan kelompok Islam, Presiden Soekarno, dalam pidato pengantarDekrit Presiden 5 Juli 1959, secara eksplisit mengakui bahwa Piagam Jakarta telah menjiwai UUD 1945. Kami berkeyakinan bahwa, kata Soekarno, “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.''

No comments:

_____________________________________ Jurnal