Ritus Politik
2 Juni 1965. Hari ini, ribuan orang dari pelbagai partai, organisasi massa, pegawai negeri, anggota ABRI, mahasiswa, hingga karyawan perusahaan-perusahaan swasta mulai mengikuti Pendidikan Kilat Kader Nasakom. Pendidikan kilat yang sehari sebelumnya telah dibuka oleh Presiden Soekarno itu digelar hingga 10 Juni 1965.
Nasakom merupakan akronim “Nasionalis-Agama-Komunis”. Tiga subyek itu dipercaya oleh Soekarno sebagai triumvirat penggerak sejarah Indonesia. Tiga subyek itu lantas dirumuskan oleh Soekarno sebagai poros dari apa yang ia sebut sebagai “persatuan nasional progfresif revolusioner”.
Lewat konsep Nasakom itulah Soekarno berharap bisa menyatu-padukan semua golongan yang berbeda haluan politik dan ideologi. Soekarno tak hanya berharap, tetapi ia juga hakkul yakin bahwa Nasakom adalah kunci dari keberhasilan revolusi yang ia bayangkan.
Salah satu pidato Soekarno yang paling bersemangat tentang Nasakom berlangsung sebulan setelah Pendidikan Kilat Kader Nasakom, persisnya pada Juli 1965. Pada rapat raksasa di Istora Senayan, Soekarno menguarkan keyakinannya yang nyaris tanpa cadang:
“Saya berkata… kesadaran yang sampai meningkat kepada hakkul yakin, bahwa Revolusi Indonesia hanyalah bisa selesai kalau bangsa Indonesia ini bersatu-padu, bahwa Nasakom bukan saja kita lihat sebagai satu phenomeen bersatu, tetapi saya meminta (semuanya) supaya berkata, Nasakom jiwaku, Nasakom jiwaku, Nasakom jiwaku! Hanya jikalau demikianlah, kita benar-benar bisa melanjutkan Revolusi ini sehingga tertjapai segala apa jang diamanatkan oleh Rakjat!”
Sebagai sosok yang disebut Herbeth Feith sebagai solidarity maker, Soekarno adalah orang yang paling digelisahkan oleh keragaman haluan politik dan ideologi. Kecenderungan itu sudah dimulai sejak masa mudanya. Soekarno-lah orang yang paling gigih mencoba menyatukan Partindo dengan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) di awal 1930-an.
Secara intelektual, Soekarno selalu tergoda untuk menjawab pertanyaan bagaimana menyatukan semua kekuatan anti-penjajahan. Kecenderungan intelektual itu pula yang membuatnya menulis Nasionalisme, Islam dan Marxisme secara berseri di jurnal Indonesia Moeda pada 1926. Baginya, gerakan nasionalis hanya bisa menuai hasil jika tiga golongan itu bisa bersatu padu. Bahtera yang akan membawa kita kepada Indonesia Merdeka, tulis Soekarno, “adalah Bahtera Persatuan.“
Konsepsi Nasakom yang dengan gigih ia kampanyekan pada masa Demokrasi Terpimpin bisa dilacak arkeologinya dari tulisan berseri Soekarno itu. Di sini kita bisa melihat konsistensi jalur intelektual dan ideologis seorang Soekarno.
Pendidikan Kader Kilat Nasakom yang digelar secara massal pada bulan-bulan menjelang peristiwa 1 Oktober 1965 merupakan salah satu ritus ideologis terbesar yang pernah digelar Soekarno pada masa kekuasaannya. Ribuan orang dikerahkan untuk berpartisipasi. Pendidikan Kader Kilat Nasakom seakan memuncaki kegiatan-kegiatan sejenis yang pada masa itu banyak digelar, seperti Kursus Kader Revolusi, dll.
Metode yang hampir mirip, tapi dalam bentuk yang lebih tertata dan lebih sistematis, muncul pada masa Orde Baru dalam bentuk Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Penataran P4 menjadi ritus yang diselenggarakan tiap tahun di pelbagai instansi, dari mulai instansi pemerintah, swasta hingga sekolah dan perguruan tinggi. Jika Nasakom disahkan oleh MPRS melalui TAP MPRS No.I/1960, maka keberadaan P4 disahkan melalui Tap MPR No. II/MPR/1978.
Upaya membangun kehidupan politik yang lebih rasional tetap tak bisa melenyapkan ritus-ritus politik, seperti Pemilu, temu kader, kampanye, dll. Ritual politik semacam itu sebetulnya bisa digubah sebagai momen di mana keragaman etos dan haluan politik bisa terus diperbaharui dan dari sanalah konsensus politik baru bisa diperteguh. Kali ini, tentu saja, dengan tidak melibatkan praktik indoktrinasi.
No comments:
Post a Comment