Monday, June 4, 2007

Perempuan Bergerak

4 Juni 1950. Hari ini, 57 tahun yang lalu, di Semarang, Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) resmi dideklarasikan. Pada awal kemunculannya, Gerwis dipimpin oleh SK Trimurti, Sri Panggian, Umi Sardjono dan Tris Metti.

Gerwis merupakan fusi dari enam organisasi perempuan yang sudah berkiprah lebih dahulu. Gerwis relatif mengindarkan diri dari isu-isu politik praktis. Inilah yang menyebabkan sejumlah kalangan menginginkan Gerwis berevolusi menjadi gerakan yang lebih politis.

Dari situlah muncul hasrat mengubah nama Gerwis yang terlalu pasif dan dianggap kurang mengakomodasi semua gerakan perempuan. Pada kongres Gerwis tahun 1951, perubahan nama dan asas organisasi sebenarnya sudah disepakati, tetapi karena suara tidak bulat maka perubahan itu pun tertahan.

Perubahan yang cukup drastis terjadi pada kongres Gerwis II di Surabaya pada 1954. Saat itulah Gerwis berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Berbarengan dengan perubahan itu, peranan SK Trimurti sendiri mulai surut, terutama setelah posisinya diganti oleh Soewarti.

Di luar Gerwis, ada juga organisasi Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang merupakan hasil fusi beberapa organisasi. Organ ini didirikan pada 1946 terutama untuk menopang perjuangan kemerdekaan. Organisasi yang bubar pada awal 1950-an ini merupakan upaya membangun dan memfasilitasi kontak di antara beberapa organisasi perempuan.

Kowani yang didedikasikan untuk menopang perjuangan mmertahankan kemerdekaan dan perubahan Gerwis menjadi Gerwani menunjukkan ciri khas gerakan perempuan di Indonesia pada awal kemerdekaan yang memiliki kesadaran dan keinginan terlibat dan melibatkan diri dalam politik.

Partai politik ramai-ramai membentuk onderbouw organ perempuan, seperti Wanita Marhaen (Partai Nasionalis Indonesia), Muslimat NU (Partai Nahdhatul Ulama), Wanita Komunis (Partai Komunis Indonesia). Gerwani sendiri kemudian secara unik “merapat” pada PKI yang sebenarnya sudah memiliki organ Wanita Komunis.

Kecenderungan untuk terlibat, dilibatkan dan melibatkan diri dalam dunia politik makin menguat seiring dengan pasangnya kekuasaan Soekarno di pengujung 1950-an. Slogan-slogan revolusioner menjadi bahasa yang kerap muncul dan diadopsi oleh organisasi perempuan.

Buku Soekarno berjudul “Sarinah” banyak memengaruhi gerakan perempuan ketika itu. Dalam buku yang banyak mengambil bahannya dari bahan-bahan kursus politik untuk kaum perempuan itu, Soekarno berbicara banyak tentang arti penting keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Tak mengherankan jika muncul kecenderungan untuk “menyisihkan” kepentingan riil perempuan dan lebih memprioritaskan kepentingan nasional, terutama dalam perjuangan melawan imperialisme.

Kecenderungan itu diakui oleh Maria Ulfah Soebadio, perempuan pertama yang merasakan jabatan menteri. Kita memang bukan merupakan sebuah gerakan feminis, kata Maria, “…kita berfikir lebih baik melawan penjajahan daripada melawan laki-laki. Jadi, kita membutuhkan laki-laki sebagai sekutu."

Isu keterlibatan Gerwani dalam peristiwa Lubang Buaya 1 Oktober 1965 menjadi titik balik yang melahirkan domestifikasi gerakan perempuan. Sejak itu, organisasi perempuan menjauh dari politik. Organisasi seperti Dharma Wanita menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya domestik.

Gerakan reformasi, yang salah satu hasilnya melahirkan klausul kuota 30% bagi caleg perempuan, menjadi tangga kesekian dari gerakan perempuan di Indonesia. Kendati masih jauh dari maksimal, klausul itu menjadi penanda penting bagi gerakan perempuan untuk memerjuangkan kepentingan riil kaumnya lewat pelbagai jalur, termasuk politik.

Di sinilah selisih antara gerakan politik perempuan pasca reformasi dengan gerakan politik perempuan pada masa Orde Lama yang “terkooptasi” oleh jargon-jargon revolusi yang, sadar atau tak, justru menyisihkan kepentingan riil perempuan.

Dari politik kembali ke politik. Tapi kali ini dengan intensi yang berbeda.

No comments:

_____________________________________ Jurnal