Diplomasi Palar
5 Juni 1900. Hari ini, di Tomohon, Sulawesi Utara, 107 tahun silam, Lambertus Nicodemus (LN) Palar dilahirkan. Palar melanjutkan perjuangan diplomasi yang sudah dirintis sebelumnya oleh Agoes Salim dan Soetan Sjahrir. Palar melakukannya langsung di jantung diplomasi internasional di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Luke Succes, New York.
Palar tak banyak dikenal sebelum aktif membantu diplomasi Indonesia. Tidak banyak aktvitas Palar yang menonjol sebelum kemerdekaan. Pada 1928, Palar berangkat ke Belanda dan berkarir di dunia politik. Pada 1945-1947, ia menjadi anggota parlemen Belanda mewakili Partai Buruh. Agresi Militer Belanda I membuat Palar kecewa dan memilih mengundurkan diri dari Parlemen sbagai bentuk protes.
Dari situlah kontribusi Palar dalam diplomasi Indonesia dimulai. Bersama Dr Soedarsono dan Mr Maramis, Palar dittugaskan Mohammad Hatta dan Menteri Luar Negeri H Agus Salim untuk mendirikan Pemerintah Indonesia dalam pelarian (Government in Exile) jika usaha Mr Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Bukittinggi tidak berhasil.
Menarik jika membandingkan bagaimana Soetan Sjahrir dan Palar memaksimalkan kekuatan retorika yang mereka miliki.
Pada Agustus 1947, selang seminggu dari Agresi Militer Belanda I, Sjahrir berpidato di depan Dewan Keamanan PBB di Lake Succes. Seperti diceritakan dengan baik oleh Charles Wolf Jr., Sjahrir memulai pidatonya dengan mengisahkan sebuah bangsa yang sudah mengenal tulisan sejak seribu lima ratus tahun silam, namun dalam pasang surut sejarahnya yang tak ter-rumuskan, bangsa itu mulai ditindas orang-orang Eropa.
Dengan cemerlang sekaligus efektif, Sjahrir mengakhirinya dengan kata-kata: “Dalam proses itu, negeri saya kehilangan kemerdekaannya… dan jatuh dari tempatnya yang megah dahulu menjadi tanah jajahan yang lemah dan hina.”
Retorika yang memikat itu berhasil memancing perhatian para diplomat asing pada isu sengketa antara Indonesia dan Belanda. Banyak di antara mereka yang penasaran pada kecemerlangan masa silam wilayah yang lantas bertransoformasi menjadi Indonesia itu.
Sementara LN Palar beda lagi retorikanya. Pada 22 Desember 1948, selang tiga hari dari Agresi Militer Belanda II, Palar lebih banyak berbicara ihwal situasi mutakhir yang sedang berlangsung di Indonesia, terutama di ibukota sementara RI di Jogjakarta.
Masih di hadapan Sidang Majelis PBB di Luke Succes, dengan rertorika yang tak kalah menyengat, Palar kurang lebih berbicara: “Anda ingat penyerbuan Jepang ke PearlHarbour? Agresi Militer Belanda di ibukota Indonesia beberapa hari silam adalah PearlHarbour jilid II.”
Kendati bukan satu-satunya faktor determinan, tetapi harus diakui, retorika Palar berhasil menggugah imajinasi para diplomat yang masih belum sepenuhnya sembuh dari trauma Perang Dunia II yang (salah satunya) dipicu oleh peristiwa Pearl Harbour pada 1941.
Peta dukungan internasional pun sontak berubah. Belanda dikecam dunia internasional dan dipaksa untuk kembali ke meja perundingan dan menjauhkan diri dari segala macam operasi militer.
Perubahan peta diplomatik itu langsung tampak beberapa saat setelah pidato Palar yang imajinatif itu. Wakil Inggris, Sir Alexander Cadogan, yang biasanya memihak Belanda, menyerang tindakan Belanda yang menurutnya sangat berlebihan. Wakil Amerika, Dr Jessup, menuduh Belanda melanggar perintah Gencatan Senjata PBB Agustus 1947, juga melanggar Piagam PBB.
Menyusul dukungannya pada Demokrasi Terpimpin ala Soekarno, dia berusaha meyakinkan dunia ihwal pilihan Indonesia yang membangun demokrasinya sendiri. Ketika menjabat sebagai Wakil Tetap Indonesia di PBB itulah Soekarno justru memutuskan Indonesia keluar dari PBB pada 1964. Padahal, 14 tahun sebelumnya, dialah yang paling aktif memperjuangkan masuknya Indonesia ke PBB pada 1950.
Sebagai diplomat, Palar punya ironinya sendiri.
No comments:
Post a Comment