Epik Soekarno
6 Juni 1901. Hari ini, 108 tahun silam, Ir. Soekarno lahir di Blitar. Kelahirannya pada saat fajar mulai menjelang seakan menjadi metafora dari mulai menyingsingnya pula kesadaran anak bangsa Hindia atas rasa pahitnya menjadi bangsa terjajah.
Soekarno adalah putra dari pasangan Raden Soekami dan Idayu Rai. Ayahnya adalah seorang guru sekolah rakyat sedangkan ibunya seorang wanita Bali yang berdarah bangsawan. Mula-mula ia dinamai Koesno. Anak inilah yang kelak menjadi salah satu aktor penting dalam drama panjang nasionalisme Indonesia, baik sebagai proses sejarah maupun sebagai sebentuk ideologi.
Soekarno adalah seorang romantik dalam banyak segi. Romantisme, sebentuk sikap yang mudah tersentuh empati, yang membuatnya dengan cepat menyadari pedih dan perihnya menjadi bangsa terjajah. Tetapi romantisme itu pula yang bisa dibilang menentukan cara berpikir, cara bertindak, visi perjuangan dan bahkan visi nasionalisme yang kelak ia kembangkan.
Dipadu-padankan dengan posturnya yang relatif tinggi, paras yang gagah-maskulin, suara bariton yang menggelegar dan bakat orator yang tanpa tanding, Soekarno tampil ke muka tak ubahnya seorang “pangeran pemberani” yang memiliki nyaris semua prasyarat untuk menjadi seorang “bangsawan”, bahkan seorang “raja”.
Cara baca seperti ini, sedikit banyak, bisa menjelaskan laku seorang Soekarno di panggung Indonesia, baik pada masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan.
Seorang filsuf sejarah, Thomas Carlyle, pernah mendaraskan teorinya ihwal “tokoh” sebagai mesin penggerak dan pengubah sejarah. Per definisi, Carlyle percaya bahwa sejarah digerakkan oleh tokoh-tokoh besar yang berperan sebagai lokomotif yang menggerakkan sejarah.
Soekarno, dalam banyak hal, adalah penghayat keperacayaan sejarah ala Thomas Carlyle itu. Digerakkan oleh romantisme akan kepemimpinan para pangeran, bangsawan dan karakter-karakter messianik, Soekarno membangun sejumlah argumen yang jika dibedah-urai secara detail akan sampai pada pokok yang sama dengan yang didaraskan Carlyle.
Visi pergerakan untuk mencapai kemerdekaan nasional yang disebarkan dan dilakukannya menunjukkan dengan baik hal itu. Seperti yang ia tunjukkan selama di Bandung, baik pada periode Studie Club maupun pada periode PNI dan Partindo atau pada periode Demokasi Terpimpin, Soekarno memilih untuk menggerakkan semangat kebangkitan nasional melalui rapat-rapat akbar yang diayomi oleh orasi-orasinya yang menggeletar.
Pendekatannya sebenarnya lebih elitis ketimbang cara Hatta-Sjahrir yang justru sering dituding sebagai pendekatan yang elitis. Elitisme Soekarno terletak pada kenyataan bahwa dengan itu ia membiarkan dirinya sebagai “pusat”, “pemimpin”, “ideolog” sekaligus juga “Bapak” dari rakyat Hindia yang terjajah.
Di sinilah jalan perjuangan politik yang dipilih Hatta-Sjahrir bergema menjadi sebentuk kritik yang tajam. Sekali “pusat” yang merangkap sebagai “pemimpin”, “ideolog” dan “Bapak” itu dipenjarakan, massa terancam kehilangan orientasi dan pegangan. Massa yang solid secara emosional bisa dengan mudah berterbangan hanya menjadi “bayu yang berhembus sepoi-sepoi”.
Visi kepemimpinan yang “romantik” itu menemukan pucuknya pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada periode itulah Soekarno menabalkan dirinya sebagai “Paduka Jang Moelia-Pemimpin Besar Revolusi-Presiden Seoemoer Hidoep” Ir. H. Soekarno.
Tafsir atas epik Soekarno ini, tentu saja, tak mengurangi pengakuan kita pada bakat, kecerdasan, empati, peran, sekaligus jasa Soekarno sebagai salah satu Bapak Bangsa yang tahu benar pahit getirnya merealisasikan proyek kolektif Indonesia.
Tanpa orasi-orasainya yang menggelegar dan membangkitkan emosi itu, dan melulu hanya mengandalkan kursus-kursus politik yang digelar secara sistematik oleh kelompok Hatta-Sjahrir, barangkali butuh waktu yang jauh lebih panjang untuk bisa membangun kesadaran nasional secara massif.
Caranya membangkitkan kesadaran rakyat Hindia yang terjajah secara cepat bisa dibilang tak tertandingi oleh yang lain.
No comments:
Post a Comment