Wednesday, June 6, 2007

Asrama Perjuangan

7 Juni 1945. Hari ini, di Jakarta, 63 tahun silam, sejumlah kesatuan pelajar dan mahasiswa Ika Daigaku (Sekolah Tinggi Kedokteran), Yakugaku (Akademi Farmasi), dan Kenkoku Gakuin (Akademi Pemerintahan), menggelar pertemuan membahas persiapan kemerdekaan. Pertemuan tersebut digelar hanya berselang 10 hari dari peresmian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Jauh sebelum itu, para pemuda, pelajar dan mahasiswa di Jakarta, baik yang bermarkas di Asrama Menteng 31, Asrama Prapatan 10, maupun Cikini 71, sudah sering menggelar diskusi dengan tema bagaimana dan seperti apa konsep negara Indonesia. Mereka sampai membicarakan bentuk negara, apakah dominion, kerajaan, republik, statenbond, bobdstaat, atau negara kesatuan.

Salah satu sesi diskusi yang paling banyak dikenang adalah ketika Mohamad Hatta diminta berceramah mengenai visi kenegaraannya di Deutsches Haus, Gambir Barat (Jl Merdeka Barat sekarang).

Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengutarakan bahwa bentuk statenbond (sederhanaanya bentuk negara federal ) sebagai yang paling cocok bagi negara Indonesia yang luas dan punya keragaman etnik yang begitu kaya.

Poin ini pula yang kembali diutarakan Bung Hatta pada sidang-sidang BPUPKI sebelum akhirnya “dikalahkan” oleh bentuk negara kesatuan yang diperjuangkan dengan gigih oleh Soepomo dan Soekarno.

Seperti yang terpapar dalam buku Lahirnya Satu Bangsa dan Negara yang ditulis oleh OE Engelen, Aboe Bakar Lubis, dkk., ceramah Bung Hatta itu banyak sekali didebat dan ditentang. Salah seorang mahasiswa Prapatan 10 bahkan mendebatnya dengan begitu sengit dan sinis. Mungkin karena kesal, Bung Hatta sampai melontarkan pernyataan: “Lebih baik saudara kembali dulu ke bangku sekolah, sudah itu baru debat saya?”

Mayoritas pemuda, mahasiswa dan pelajar ketika itu memang lebih setuju dengan bentuk negara kesatuan. “Kalau tidak diambil bentuk negara kesatuan, nanti terulang lagi politik dan taktik devide et impera Belanda,” ujar aktivis Prapatan 10, M Kamal, yang ditunjuk tokoh utama dari Asrama Menteng 31, Chairul Saleh.

Asrama Prapatan 10 dan Menteng 31 (ditambah Asrama Cikini 71) memang menjadi pusat kegiatan pemuda, pelajar dan mahasiswa di Jakarta selama pendudukan Jepang. Tempat itu menjadi kawah yang menggodok semangat nasionalisme sembari menjadi “sekolah kultural” yang membekali angkatan muda dengan pelbagai pengetahuan praktis di bidang politik, hukum dan tatanegara.

Asrama Prapatan 10 sendiri merupakan tempat tinggal mahasiswa-mahasiswa Ika Daigaku. Di Prapatan 10 ini pula sempat berlangsung pemogokan massal mahasiswa menyusul kebijakan pemerintah Jepang yang memaksa semua penghuni asrama untuk digunduli.

Aksi mogok massal yang dipelopori Soedjatmoko dan Soedarpo sempat membuat pusing para “senior” mereka, seperti Bung Karno, Bung Hatta hingga Ki Hadjar Dewantara. Seraya mengingatkan bahwa aksi mogok bisa merugikan mereka sendiri, ketiganya juga membujuk para mahasiswa itu untuk menghentikan aksi mogok dan menyarankan untuk secepatnya kembali kuliah.

Bersama dengan Menteng 31 dan Cikini 71, para pemuda Prapatan 10 inilah yang kelak banyak mengisi posisi-posisi penting dalam tubuh pemerintahan Indonesia, KNIP maupun militer. Angkatan muda itu pula yang menjadi aktor peristiwa Rengasdengklok yang (harus diakui) menjadi bagian tak terpisahkan dari lahirnya Proklamasi 17 Agustus 1945.

Suasana zaman yang menuntut kepedulian dan partisipasi angkatan muda itu menjadikan sekolah, akademi dan universitas tak melulu menjadi tempat mengunduh ijazah, tetapi sekaligus menjadi kawah yang memertajam rasa kebangsaan dan kepekaan sosial.

Zaman memang sudah berubah dan angkatan baru bermunculan membawa semangat zaman yang juga baru. Tetapi harapan akan sekolah, akademi, dan universitas yang mampu memertajam kepekaan dan kepedulian sosial masih pantas digemakan terus-menerus.

No comments:

_____________________________________ Jurnal