Serikat Surat Kabar
8 Juni 1946. Hari ini, 59 tahun silam, Sarikat Penerbit Surat Kabar (SPS) lahir di Yogyakarta. Kesepakatan untuk membentuk SPS muncul dalam sebuah pertemuan yang berlangsung di serambi gedung Kepatihan di lingkungan Kraton Yogyakarta Hadiningrat.
Berdirinya SPS ini masih satu rangkaian historis dari berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946 di Surakarta. Semangat yang melatari pendirian dua organisasi tersebut, mau tak mau, menegaskan satu hal: bahwa pada periode sejarah tertentu, pers dan jurnalisme punya hubungan yang intens dengan tumbuh-kembangnya nasionalisme Indonesia.Gagasan mendirikan SPS lahir dalam pertemuan yang berlangsung di Surakarta pada acara Kongres Wartawan I yang dihadiri para wartawan dan sejumlah penerbit surat kabar. Selama dua hari, mereka berdiskusi dan memerbincangkan peran wartawan dan dunia pers dalam arus besar perjuangan nasionalisme yang sedang gawat menyusul ambisi Belanda untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai koloninya.
Ada dua poin historis yang disepakati. Pertama, peserta kongres yang hadir sepakat untuk mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang langsung terbentuk pada saat itu juga. Itulah sebabnya tanggal 9 Februari hingga sekarang diperingati sebagai hari lahir PWI. Kedua, para peserta kongres juga sepakat Kedua untuk memersatukan semua penerbit surat kabar nasional ke dalam satu wadah.
Kesepakatan kedua baru bisa direalisasi pada 8 Juni 1946 di Yogyakarta. Beberapa di antara mereka yang hadir adalah Syamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakjat, Jakarta), BM. Diah (Harian Merdeka, Jakarta), Abdul Rachmad Nasution (Kantor Berita Antara, Jakarta), Ronggodanukusumo (Harian Suara Rakjat, Mojokerto), Mohamad Koerdie (Harian Soeara Merdeka, Tasikmalaya), Bambang Suprapto (Harian Penghela Rakjat, Magelang), Sudjono (Harian Berdjuang, Malang) dan Supridjo Djojosupadmo (Harian Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta).
Pada pertemuan yang juga dihadiri ketua dan sekretaris PWI yang terpilih pada 9 Februari 1946 itulah SPS lahir. Awalnya bernama Sarikat Penerbit Suratkabar sebelum berubah menjadi Serikat Penerbit Suratkabar. Terpilih sebagai Pengurus SPS pertama: Sjamsuddin Sutan Makmur (ketua), Suprijo Djojosupadmo (wakil ketua), dan Djamal Ali (panitera). Ronggodanukusumo, Sumanang, Moh. Koerdie, dan Sudjono sebagai pembantu.
Ketika itu, berkembang harapan menjadikan SPS sebagai organisasi yang mampu menghimpun dan mewadahi semua penerbit (koran, majalah, tabloid) dalam arti yang luas, termasuk menyangkut aspek pengelolaan dan perusahaan pers. Dan yang pokok, seperti juga tercermin dalam prosesi persalinan PWI, SPS juga lahir di tengah suasana yang dijalari semangat nasionalisme yang makin menguat menyusul ambisi Belanda yang ingin kembali menduduki bekas koloni terbesarnya ini.
Hal serupa bisa dijumpai pada era pergerakan nasional. Setiap organisasi pergerakan nyaris selalu menerbitkan media yang digunakan untuk mengkampanyekan gagasan nasionalisme dalam bentuknya yang berbeda-beda.
Itulah yang bisa banyak ditemukan dalam lembar-lembar tua sejarah pers pada dasawarsa terakhir Hindia Belanda. Sekadar memberi contoh, Soeloeh Indonesia diterbitkan oleh Partai Nasional Indonesia atau De Express diterbitkan oleh Indische Partij, dll. Bond para wartawan di Surakarta, Inlandsche Journalisten Bond (IJB), bahkan sengaja dibentuk oleh Mas Marco Kartodikromo sebagai wadah para jurnalis yang banyak menjadi aktivis organisasi pergerakan.
Sejarah Indonesia mencatat dengan khidmat kontribusi media massa, wartawan, dan para penerbitnya dalam prosesi persalinan janin nasionalisme. Persenyawaan yang khas ini pada periode Orde Baru, harus diakui, melahirkan anakronisme yang mensubordinasi secara vulgar pers Indonesia di bawah kepentingan rezim Orde Baru. PWI bahkan sempat menjadi bagian tak terpisahkan dari anakronisme itu.
No comments:
Post a Comment