Tionghoa dan Cina
20 Juni 1967. Hari ini, 40 tahun silam, Presidium Kabinet Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran yang mengganti sebutan “Republik Rakyat Tiongkok” dan “orang Tionghoa” menjadi” Republik Rakyat Cina” dan “orang Cina”.
Surat Edaran itu juga menyebutkan alasan di balik keluarnya beleid perubahan sebutan itu. Alasannya: "….menghilangkan perasaan inferior pada orang kita dan di lain pihak menghapus perasaan superior pada golongan yang bersangkutan dalam negara kita. Hal ini dapat dibenarkan dari segi historis dan sosiologi."
Surat edaran tersebut lahir atas rekomendasi dari Seminar Angkatan Darat II di Seskoad, Lembang, pada 25-31 Agustus 1966. Salah satu kesimpulan seminar tersebut adalah: “…keputusan Seminar untuk memulihkan penggunaan istilah ‘Republik Rakyat Tjina’ (ZhiNa Ren Min Gong He Guo) dan ‘warganegara Tjina’ (ZhiNa Gong Min), sebagai ganti sebutan ‘Republik Rakyat Tiongkok’ dan warga-nya. Dari segi pandang sejarah dan masyarakat, keputusan tersebut adalah tepat."
Jika mencermati dengan baik beleid itu, serta klausul kesimpulan Seminar Angkatan Darat II, cukup terang kalau sebutan Cina digunakan untuk pemerintah Tiongkok dan warga negara Tiongkok di negaranya. Akan tetapi, praktiknya sebutan Cina itu justru dilekatkan secara membabi-buta kepada semua orang keturunan Tionghoa di Indonesia.
Sebelum rekomendasi Seminar Angkatan Darat II dijadikan sikap resmi, warga keturunanan Tionghoa sudah menyatakan keberatan. Pada 28 April 1967, di harian Kompas, Mochtar Loebis juga menulis artikel mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa istilah "Cina" telah melukai perasaan peranakan Tionghoa di Indonesia.
Sikap Mochtar Loebis sebenarnya bukan hal baru. Dalam periode pergerakan nasional, sebutan “orang Tionghoa” atau “bangsa Tiongkok” lebih menonjol dalam cara wicara. Para pemimpin pergerakan nasional lebih sering menggunakan kata “Tionghoa” atau “bangsa Tiongkok”. Jika pun tidak menggunakan kata Tionghoa atau bangsa Tiongkok, pilihan katanya menjadi “China” atau “Chinesse” seperti pengucapan dalam bahasa Inggris, dan bukan “Cina”.
Dalam sejumlah literatur sejarah, sebutan Cina muncul sebagai implikasi dari kekalahan Tiongkok atas Inggris pada Perang Candu pada 1842. Inggris memopulerkan sebutan ‘Cina” kepada bangsa Tiongkok yang baru dikalahkan.
Semangat untuk menggunakan kata “bangsa Tiongkok” atau “orang Tionghoa” mencuat (salah satunya) oleh gerakan Dr Sun Yat Sen yang ingin meruntuhkan Dinasti Ching dan menggantinya dengan Chung Hwa Ming Kuo atau Republik Tiongkok. Sejak saat itu mereka menyebut dirinya orang Tionghoa, yaitu dialek Hokkian dari kata bahasa Mandarin “Chung Hwa”, dan menolak disebut Cina.
Ketika hubungan diplomatik Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kembali dibuka pada awal 1990-an, terjadi hambatan soal sebutan ini. Pemerintah Indonesia ingin mempertahankan sebutan Republik Rakyat Cina dan sementara pemerintah RRT ingin disebut sebagai Republik Rakyat Tiongkok.
Setelah terjadi perundingan cukup alot, dicapai kesepakatan menggunakan kata China, sehingga sebutannya menjadi Republik Rakyat China, dengan singkatan tetap RRC. Sebutan itu sungguh membingungkan, sehingga masyarakat Indonesia tetap saja menyebutnya Cina, bukan China dengan lafal Inggris.
Bagi warga Tionghoa atau keturunan Tionghoa, sebutan “Cina” dirasa sebagai panGgilan yang merendahkan dan menghina. Barangkali, seperti sebutan “inlander” atau “pribumi” bagi penduduk Hindia Belanda di masa kolonial atau sebutan “Niger” atau “Negro” bagi orang-orang Afrika yang menetap di luar benuanya.
Itulah sebabnya pada 13 Agustus 1939, Mohammad Hoesni Thamrin mengajukan mosi yang isinya menuntut agar istilah "Inlander" diganti dengan "Indonesier" dan istilah Nederland Indie diganti dengan "Indonesia". Mosi Thamrin ini jelas ditampik oleh pemerintah Belanda karena bisa melahirkan implikasi politis yang luas. Tetapi, mosi itu sedikit banyak bisa menggambarkan penolakan atas sebutan Inlander atau pribumi yang berkonotasi melecehkan dan menghina.
No comments:
Post a Comment