Pan-Islamisme di Pekojan
19 Juni 1905. Hari ini, 102 tahun silam, Jamiat al-Khair secara resmi memeroleh ijin dan pengakuan sebagai organisasi legal dari pemerintah kolonial Belanda. Pengakuan dan ijin ini membuat Jamiat al-Khair bisa segera merealisasikan agenda kerja yang sudah disusun sejak lama, terutama di bidang pembaruan pendidikan Islam.
Jamiat al-Khair sudah berdiri sejak 1901 di Pekojan (sekarang di Jakarta Utara). Para pendirianya beberapa muslim keturunan Hadramaut, seperti Ali Bin Ahmad Shahab, Muhammad bin Abdullah Shahab, Muhammad Al Fachir, Idrus bin Ahmad Shahab, dan Said Basandeid menyepakati pendirian Jamiat al-Khair.
Sedari pendiriannya, Jamiat al-Khair dibayangkan sebagai organisasi yang bergerak di bidang sosial, keagamaan dan terutama pendidikan. Para pendiri Jamiat al-Khair adalah para pemuka kelompok Islam keturunan Hadramaut yang menyadari arti penting pendidikan Islam dengan wawasan dan pendekatan yang lebih modern.
Bisa dikatakan dari Pekojan inilah dimulai sistem pendidikan Islam dengan metode pengajaran modern pertama kali muncul di Hindia Belanda. Di mata para pendiri Jamiat al-Khair, pendidikan Islam dengan metode tradisional tak mampu lagi menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam.
Karena itulah Jamiat al-Khair melakukan modernisasi dalam bidang pendidikan agama. Sistem pendidikan diberikan dalam kelas dan pelajarannya tidak terbatas pada kajian agama. Diajarkan pula ilmu-ilmu pengetahuan umum dan bahasa Melayu serta Inggris dan tentu saja bahasa Arab.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikannya, Jamiat al-Khair mendatangkan para pengajar dan pakar pendidikan dari Timur Tengah, salah satunya Syech Achmad Surkaty. Tak cuma itu, Jamiat al-Khair secara berkala mendatangkan surat kabar dan majalah dari Timur Tengah. Kontak Jamiat al-Khair dengan intelektual-inteletual muslim di Timur Tengah pun terjalin. Majalah Al-Manar yang dipimpin Sayid Rasyid Ridho, misalnya, memperoleh informasi tentang gerakan-gerakan Islam di Indonesia dari Jamiat al-Khair.
Dari situlah gagasan pan-Islamisme mulai bergaung kuat di tanah Jawa. Gagasan-gagasan para pemimpin dan pemikir pan-Islamisme seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha seringkali bisa dibaca dari surat kabar dan majalah yang didatangkan Jamiat al-Khair.
Inilah yang memertajam syak wasangka pemerintah kolonial kepada Jamiat al-Khair. Kecurigaan pemerintah kolonial makin berlipat menyusul banyaknya laporan ihwal keterlibatan mantan anggota atau mantan murid sekolah Jamiat al-Khair dalam sejumlah organisasi pergerakan. Seperti pernah ditunjukkan Robert van Niel dalam karya klasiknya The Emergency Of Modern Indonesia, sejumlah anggota Sarekat Islam dan Boedi Oetomo di Batavia terbukti merupakan bekas anggota atau murid sekolah Jamiat al-Khair.
Kecurigaan pemerintah kolonial pada Jamiat al-Khair merupakan manifestasi dari kekhawatiran pemerintah terhadap aktivitas orang-orang Islam yang berasal dari Hadramaut dan Timur Tengah. Dalam kalkulasi pemerintah, orang-orang keturunan Arab punya potensi yang lebih membahayakan ketimbang warga keturunan Tionghoa. Merebaknya gagasan pan-Islamisme kian memertajam kecurigaan pemerintah kolonial.
Kontribusi mereka di bidang pergerakan kebangsaan makin kentara setelah sebagian dari mereka mulai menjauhi pan-Islamisme dan merapatkan diri dengan pergerakan politik yang dihela oleh kaum bumiputera.
Sumit Mandal dalam buku Forging A Modern Arab Identity in Java in the Early Twentieth Century menyebutkan persaingan niaga yang ketat dengan para pedagang Tionghoa membuat orientasi pan-Islamisme warga keturunan Arab perlahan mulai memudar.
Persaingan niaga yang kerap berbuah kerusuhan dan kekerasan itu memerbesar kesadaran warga keturunan Arab akan arti penting kerjasama dengan kaum (pedagang) bumiputera. Dari situlah muncul, misalnya, nama keluarga Badjened yang menjadi penyokong dana, penasihat politik dan rohani dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan pada 1909.
No comments:
Post a Comment