Monday, June 18, 2007

Nasionalisasi Pelayaran

18 Juni 1960. Hari ini, 47 tahun silam, pemerintah Indonesia mengeluarkan beleid PP No. 34/1960 tentang nasionalisasi aset-aset milik Perusahaan pelayaran Belanda Koninklijke Paketvaart Maatschppij (NVKPM).

NVKPM adalah perusahaan Belanda yang berkedudukan di Amsterdam. Operasi pelayaran NVKPM di Indonesia dikendalikan pimpinan cabang yang dipimpin oleh dewan direksi yang bertindak atas instruksi-instruksi yang dikeluarkan dari Amsterdam.

Beleid nasionalisasi NVKPM menjadi puncak dari program nasionalisasi delapan perusahaan maritim milik Belanda pada 1959. Rangkaian nasionalisasi sejumlah perusahaan pelayaran Belanda dimungkinkan menyusul keluarnya UU No. 2/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda serta Peraturan Pemerintah No.2/1959 tentang pokok-pokok pelaksanaan Undang-undang Nasionalisasi.

Nasionalisasi perusahaan pelayaran Belanda ini merupakan imbas dari kampanye pengembalian Irian Barat yang sedang digalang oleh pemerintahan Soekarno. Kampanye Irian Barat “terpaksa” dilakukan menyusul serangkaian kegagalan perundingan antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Indonesia yang sudah diupayakan sejak periode pemerintahan parlementer.

Puncak kemacetan diplomatik sengketa Irian Barat terjadi pada 13 Februari 1954 sewaktu pemerintahan kabinet Burhanuddin Harahap secara sepihak membubarkan Uni Indonesia-Belanda. Pembubaran ini disebabkan deadlock-nya Perundingan Jenewa yang membahas penyelesaian sengketa Irian Barat.

Soekarno, yang sedari awal perundingan sudah pesimis, memaksimalkan posisinya yang kuat menyusul Dekrit Presiden pada Juli 1959 untuk memilih jalan konfrontasi bersenjata dengan Belanda.

Pilihan konfrontasi inilah yang melahirkan nasionalisasi perusahan-perusahaan pelayaran Belanda. Nasionalisasi ini bisa dibilang sebagai strategi militer untuk memutus arus lalu lintas pelayaran kapal-kapal milik perusahaan Belanda.

Sayangnya, nasionalisasi NVKPM tidak dilakukan dengan frontal. Nasionalisasi dimulai dengan dikeluarkan larangan berlayar di semua perairan Indonesia bagi kapal-kapal milik NVKPM sehingga mau tak mau kapal-kapal NVKPM mesti meninggalkan Indonesia. Nasionalisasi NVKPM dan beberapa perusahaan pelayaran Belanda lain akhirnya hanya meliputi aset-aset yang berada di darat saja.

Aset-aset utama dan terpenting sebuah perusahaan pelayaran tentu saja ada pada kapal-kapalnya. Nasionaliasi perusahaan pelayaran yang hanya menjangkau aset-aset di darat yang sudah ditinggalkan bisa dibilang tak banyak memberi manfaat ekonomis.

Dalam sejumlah hal, nasionalisasi itu bahkan lebih banyak merepotkan. Pemerintah Indonesia mau tak mau mesti memikirkan nasib ribuan karyawan perusahaan pelayaran milik Belanda. Jumlah karyawan NVKPM yang merupakan warga negara Indonesia saja berjumlah sekira delapan ribu orang.

Untuk mengurusi banyak hal teknis berkait nasionalisasi itu, termasuk untuk mencari solusi bagi nasib para mantan karyawan, pemerintah Indonesia membentuk suatu panitia khusus dengan nama Panitia Penguasa N.V. K.P.M.

Panitia khusus tersebut melaporkan bahwa hanya lima ribu karyawan yang masih dapat dipekerjakan di Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI), sementara 3000 karyawan lainnya mesti dialihkan ke perusahaan-perusahaan lainnya. Peliknya mencarikan solusi nasib karyawan eks NVKPM ini memaksa pemerintah Indonesia membentuk Panitia Interdepartemental Penyelesaian Buruh NVKPM pada 13 Desember 1959.

Nasionalisasi seperti yang terjadi pada NVKMP inilah yang seringkali justru menyulitkan pemerintah Indonesia sendiri. Alih-alih bisa memberikan banyak keuntungan finansial, nasionalisasi yang lebih digerakkan oleh kalkulasi politis macam ini justru melapangkan jalan pada kebangkrutan ekonomi Indonesia.

Sejarah kemudian mencatat: karena pemerintah Soekarno melulu menempatkan politik sebagai panglima, maka pemerintahan Soekarno akhirnya, bisa dibilang, (di)jatuh(kan) juga oleh peristiwa politik.

No comments:

_____________________________________ Jurnal