16 Juni 1946. Hari ini, 59 tahun silam, Karesidenan Surakarta secara resmi mulai berdiri. Oleh pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta, Karesidenan Surakarta ini membawahi Kotamadya Surakarta, Kabupaten Karang Anyar, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali.
Terbentuknya Karesidenan Surakarta, yang diikuti berdirinya Pemerintahan Daerah Kotamadya Surakarta, secara otomatis menghapus kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara.
Nasib tragis yang menimpa Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara ini berbanding terbalik dengan dua saudara mudanya yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, yang hingga kini masih menikmati “status” sebagai Daerah Istimewa.
Surakarta sebenarnya pernah juga “mencicipi” status sebagai Daerah Istimewa. Seperti juga Sultan Hamengkubuwana IX, Pakubuwana XII juga menandatangani pernyataan yang menyebutkan bahwa Kraton Surakarta berdiri di belakang RI. Seperti juga Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta pun lantas diberi status sebagai Daerah Istimewa Surakarta (DIS) dengan Pakubuwana XII sebagai Kepala Daerah.
Bedanya, jika daerah Kasultanan Yogyakarta dan Kadipatan Pakualaman hingga kini masih menikmati status sebagai Daerah Istimewa, Surakarta hanya menikmati status sebagai Daerah Istimewa hingga 16 Juni 1946 menyusul ditetapkannya Karesidenan Surakarta dan Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta.
Tetapi proses delegitimasi Kraton Surakarta sudah dimulai berbulan-bulan sebelummnya. Pada Otober 1945 terbentuk gerakan swapraja yang menggelar kampanye anti-monarki dan feodalisme di Surakarta. Gerakan yang menyebut-nyebut nama Tan Malaka sebagai salah satu pemimpinnya itu tak hanya memasang target untuk membubarkan DIS, tapi juga menginginkan dicabutnya beragam privilege yang dimiliki Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara. Kelompok ini berharap bisa mengambil alih tanah-tanah yang dikuasai dua monarki itu dan membagikannya pada para petani.
Kelompok inilah yang ada di balik serangkaian kerusuhan, kekacauan dan kekerasan di Surakarta. Pada Oktober itu juga, penasihat Sunan Pakubuwana XII, KRMH Sosrodiningrat, diculik dan dibunuh. Bupati-bupati di Daerah Istimewa Surakarta yang masih kerabat Kraton diturunkan oleh massa. Pada April 1946, penasihat Sunan yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh bersama sembilan pejabat di Kepatihan.
Bayangan revolusi sosial di Sumatera Timur yang merenggut banyak sekali bangsawan Melayu membayang di Surakarta. Pemerintah RI akhirnya turun tangan dan mengirimkan pasukan untuk menjaga Kraton Surakarta. Tapi tak berhenti di situ, pemerintah RI menindaklanjuti situasi yang tak terkendali dengan mengeluarkan beleid pembentukan Karesidenan Surakarta dan Kotamadya Surakarta. Daerah Istimewa Surakarta pun berakhir dengan tragis.
Pada bulan-bulan pertama kemerdekaan, Yogyakarta dan Surakarta memang berada pada dua situasi yang berbeda. Pemindahan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta membuat situasi politik dan keamanan Yogyakarta relatif lebih terkendali. Sementara di Surakarta, rangkaian kerusuhan dan kekerasan sosial pelan tapi pasti membuat proses delegitimas Kraton Surakarta berjalan lebih cepat.
Hal lain yang membuat cepatnya delegitimasi itu adalah keberadaan Surakarta sebagai salah satu daerah yang paling riuh dan bergolak sepanjang periode pergerakan nasional. Sarekat Islam, Insulinde hingga Sarekat Hindia secara sistematis menyelipkan retorika anti-monarki dalam kampanye anti-kolonialisme yang mereka gelar.
Pada awal 19 Mei 1919, dalam salah satu pidato di Volksraad, Dr. Tjiptomangoenkoesoemo dengan terang-terangan menuntut agar raja beserta aparatnya di Surakarta dipensiunkan saja. Tjipto bahkan mengusulkan agar Sunan Pakubuwana dan Pangeran Mangkunegara diberi dana pensiun sebesar 2000 gulden.
27 tahun kemudian, beberapa hal yang diinginkan Tjipto terwujud, sayangnya itu didahului oleh jatuhnya korban kekerasan.
No comments:
Post a Comment