Friday, June 15, 2007

“Kasta” di Sekolah

15 Mei 1914. Hari ini, 93 tahun silam, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) secara resmi ditetapkan sebagai sekolah yang mandiri.

Pada awal pendiriannya, MULO belum sekolah yang mendiri melainkan tak lebih dari sejenis “kursus” panjang (kira-kira semacam matrikulasi dalam periode yang lebih panjang) yang menjadi tahap persiapan bagi siapa pun lulusan Sekolah Desa yang hendak masuk ke sekolah kejuruan dengan lama pendidikan 2 tahun. Itulah sebabnya awalnya disebut “Kursus MULO”, bukan “Sekolah MULO”. Pemerintah Hindia Belanda menyebut lembaga pendidikan jenis ini sebagai “vervolgschool”.

Kursus MULO muncul setelah Sekolah Desa yang didirikan pemerintah Hindia Belanda telah berlangsung selama delapan tahun. Pemerintah kolonial menemukan kenyataan betapa besarnya minat lulusan Sekolah Desa yang ingin melanjutkan ke sekolah lanjutan. Tapi karena mereka hanyalah lulusan Sekolah Desa, mereka tak mungkin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, termasuk ke sekolah kejuruan.

Sekolah Desa yang muncul pada Maret 1906 digerakkan oleh keinginan untuk bisa menjawab kebutuhan pendidikan sebanyak mungkin anak-anak bumiputera. Ini adalah pengembangan lebih lanjut dari Sekolah Dasar Kelas Dua (Schoolen der Eeste Klasse). Jika Sekolah Dasar Kelas Dua berada di kota dan lama belajarnya lima tahun, Sekolah Desa berada di pedesaan dengan lama belajar tiga tahun.

Di samping itu, ada juga Sekolah Dasar Kelas Satu (Schoolen der Eerste Klassen) yang dikhususkan bagi anak-anak pembesar bumiputera dan orang-orang kaya bumiputera lainnya. Jika Sekolah Dasar Kelas Satu dengan pengantar bahasa Belanda, Sekolah Dasar Kelas Satu dan Sekolah Desa mengunakan pengantar bahasa Melayu.

Kursus MULO dimunculkan pertama-tama untuk menjawab kebutuhan lulusan Sekolah Desa atau Sekolah Dasar Kelas Dua yang ingin melanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan itu.

MULO berubah menjadi sekolah yang mendiri pada 1914 yang diikuti penambahan masa sekolah dari yang tadinya dua tahun menjadi tiga tahun. Setelah resmi menjadi sekolah yang mandiri, MULO setaraf dengan Sekolah Lanjutan Tingkatan Pertama (SLTP) pada masa sekarang.

Sayangnya, begitu MULO berubah dari “kursus” menjadi “sekolah”, lulusan Sekolah Desa pun tak bisa memiliki akses untuk memasuki MULO. Kecuali Sekolah Desa, MULO bisa dimasuki oleh semua sekolah rendah atau sekolah dasar, dari mulai HIS yang merupakan sekolah dasar anak-anak Belanda dan Eropa, HCS yang merupakan sekolah dasar untuk anak-anak Tionghoa dan Sekolah Dasar Kelas Satu yang diperuntukkan bagi anak-anak pembesar bumiputera.

Dari MULO inilah lantas muncul Algemene Middebare School (AMS). AMS muncul setelah meluasnya minat anak bumiputera lulusan MULO yang ingin melanjutkan pendidikan tapi jelas tak mungkin ditampung oleh Hogere Burger School (HBS) yang hanya diperuntukkan untuk anak-anak Belanda, Eropa atau elite pribumi. AMS berdiri pertama kali pada 1919 di Yogyakarta.

AMS setaraf dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas pada masa sekarang dengan lama pendidikan 3 tahun. Ada tiga jurusan di AMS, yaitu A1 untuk studi sastra dan humaniora Timur, A2 untuk studi sastra dan humaniora Barat dan B untuk studi ilmu alam dan eskaksta.

Dari sinilah kompleksitas sistem pendidikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda tampak jelas. Sekolah Desa muncul dalam logika berpikir yang membagi masyarakat bumiputera ke dalam pelbagai lapisan sosial, tepatnya lapisan atas dan bawah. Pemilahan yang sama juga dilakukan berdasarkan klasifikasi rasial: Belanda atau Eropa, Tionghoa, Arab dan bumiputera.

Klasifikasi dan stratifikasi sosial yang kompleks itu terejawantah dalam banyak segi peri kehidupan di Hindia Belanda, dari mulai soal agama hingga ekonomi. Sistem pendidikan adalah salah satu contoh paling benderang dari politik cacah jiwa yang diterapkan Belanda di tanah koloninya yang terbesar ini.

No comments:

_____________________________________ Jurnal