Thursday, June 14, 2007

Lupa dan Purbakala

14 Juni 1913. Hari ini, 94 tahun silam, Oudheidkundige Dienst in Nederlandsche-Indie (Jawatan atau Dinas Purbakala di Nederland-Indie) secara resmi berdiri. Lembaga inilah yang diberi tugas dan kewenangan untuk mengumpulkan, mendaftar, meneliti serta melestarikan dan memanfaatkan semua warisan kebudayaan di wilayah Hindia Belanda.

Jauh sebelum itu, kerja meneliti, kegiatan mengumpulkan, mendaftar, melestarikan dan memanfaatkan benda-benda purbakala sudah dilakukan sejumlah orang Belanda yang memiliki minat ke arah itu, termasuk usaha orang-orang yang menjadi kolektor benda-benda antik.

Nama GE Rumphius pantas disebut. Ia acapkali disebut sebagai salah seorang pemula yang berhasil memantik minat pada kegiatan arkeologis. Rumphius pernah menerbitkan buku De’ Amboinsche Rariteitkamer pada 1705. Buku tersebut banyak menyebutkan temuan benda-benda kuno seperti kapak perunggu dan nekara (sejenis genderang) serta mencoba menguraikan sejumlah mitos yang ada di balik benda-benda tersebut.

Selang 73 tahun dari penerbitkan buku Rumphius, di Batavia berdiri Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang merupakan lembaga yang berisi para peminat dan peneliti benda seni dan antik. Lembaga ini sempat mendirikan museum yang menjadi cikal bakal dari Museum Nasional atau yang lebih masyhur dengan sebutan Museum Gajah.

Minat dan perhatian pada penelitian ilmiah, termasuk pada benda-benda arkeologis, kian meningkat setelah Sir Stanford Raffles ditunjuk oleh Lord Minto sebagai penguasa Hindia Belanda. Atas perintah Raffles pula reruntuhan candi Borobudur untuk pertama kali “disentuh” oleh pemerintah.

Raffles, seperti bisa dibaca dari biografinya yang ditulis oleh sejarawan Thomas Jefferson, banyak memanfaatkan posisinya untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang Hindia Belanda, baik itu botani, zoologi hingga arkeologi. Ketika ia meninggalkan Jawa, Raffles disebut-sebut membawa serta berton-ton benda-benda yang dikumpulkannya ke Inggris.

NJ Krom adalah orang yang berulangkali mendesak didirikannya satu jawatan yang khusus bergerak di bidang arkeologis. Krom menganggap pengelolaan warisan budaya di Hindia Belanda yang beritu kaya dan beragam harus diserahkan pada sebuah Jawatan yang diperkuat para arkeolog dan sejarawan yang berdedikasi tinggi. Dari desakan Krom itulah Oudheidkundige Dienst in Nederlandsche-Indie dilahirkan.

Diterimanya usulan Krom tak lepas dari menguatnya kecenderungan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menunjukkan pada dunia internasional bahwa mereka adalah penjajah yang tak sekadar mengeruk kekayaan tanah koloni. Itulah sebabnya Belada begitu antusias mengikuti Pameran Kolonial Internasional di Paris. Stand pemerintah kolonial Hindia Belanda disebut-sebut sebagai stand yang paling menarik minat dan banyak diulas oleh surat kabar di Paris.

Frank Gouda, dalam buku Dutch Culture Overseas, mengulas pameran tersebut berikut motif pemerintah kolonial dalam memelihara benda-benda arkeologis di Hindia Belanda. Belanda yang dianggap “anak bawang” di Eropa ketika itu disebut-sebut sebagai contoh terbaik dari bagaimana pemerintah kolonial Eropa ikut serta mengelola kekayaan dan keragaman budaya tanah koloninya.

Dengan cara itulah, tulis Frank Gouda, reputasi negera kolonial Belanda diteguhkan di panggung internasional sebagai contoh dari keseimbangan antara kegiatan “mengeruk kekayaan” tanah koloni dengan “kewajiban etik” untuk ikut memerteguh kekuatan budaya tanah koloni.

Kita bisa sedikit belajar pada pemerintah kolonial dalam hal keseriusan merawat benda-benda bersejarah. Warisan sejarah, baik yang tangible (benda-benda purbakala) maupun yang intangible (seperti tari-tarian), adalah benang yang merajut “kain identitas sebuah bangsa”.

Jangan sampai situs-situs purbakala terbengkalai menjadi “petilasan tua yang kusut dan muram”. Jangan sampai kita menjadi, pinjam kata-kata Goenawan Mohammad dalam sajak Sirkus, bangsa “…yang percaya bahwa lupa akan membebaskan kita”.

No comments:

_____________________________________ Jurnal