Batoro Kolo
13 Juni 1920. Hari ini, 87 tahun silam, Raad van Indie (Dewan Hindia) memutuskan untuk menghapuskan hak berkumpul di Karesidenan Surakarta. Begitu keputusan itu diambil, dimulailah aksi penangkapan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam, Sarekat Hindia dan Personeel Fabriek Bond.
Keputusan konservatif itu diambil setelah Raad van Indie menerima kawat Residen Surakarta, Harloff, yang meminta agar hak berserikat dan berkumpul di Surakarta dicabut. Kawat itu dikirim setelah Harloff merasa tak mampu lagi mengendalikan situasi Surakarta yang terus memanas oleh unjukrasa dan mogok kerja yang dilancarkan buruh dan petani.
Sepanjang April hingga Mei, Surakarta memang tak kondusif. Personeel Fabriek Bond (PFB) tak henti-hentinya menggelar pemogokan.Hampir tiap hari ada unjukrasa, vergadering, rapat-rapat dan pawai-pawai massa.
Tak cuma para petinggi pabrik atau perkebunan yang digugat, mleainkan juga pemerintah Hindia Belanda, Residen Harloff, polisi bahkan Soenan Pakoebowono. Tapi, sebelum hak berserikat dan berkumpul dicabut Raad van Indie, tidak ada satu pun orang yang ditangkap. Polisi sepertinya sudah memerhitungkan penangkapan akan membuat situasi makin tak terkendali.
Aksi mogok dan unjukrasa yang dilakukan para buruh pabrik yang relatif dibiarkan itu membuka peluang bagi para petani dan kuli-kuli perkebunan untuk ikut ambil bagian. PFB bersama Centraal Sarekat Islam (CSI) berupaya menggalang dan memobilisasi para petani dan kuli-kuli.
Aksi mogok para petani dan kuli akan mencapai momentumnya ketika perkebunan tebu hendak memasuki masa panen dan perkebunan embakau uga mendekati masa petik. Pemogokan petani dan kuli perkebunan dimulai di daerah Ceper, Ponggok, Polanharjo dan Tegalgondo.
Ketika didesak oleh HD Rubenkonig (Ketua Perkumpulan Pertanian Surakarta) untuk mencabut hak berserikat dan berkumpul, Residen Harloff awalnya menolak. Dia bersikukuh bahwa pihaknya masih mampu mengendalikan keadaan.
Tapi situasi berubah setelah Harloff menerima informasi rahasia ihwal digelarnya rapat PFB di Yogyakarta pada 8-9 Mei 1920. dalam pertemuan itu terkuak bahwa FB berencana akan menuntut sindikat pabrik gula dan dewan direktur pabrik gula untuk membatalkan semua rencana pemecatan buruh yang ikut berunjukrasa dan menuntut agar mengakui PFB sebagai wakil resmi buruh pabrik gula. Jika tidak dipenuhi, PFB akan merencanakan pemogokan total di seluruh pabrik gula di Jawa pada akhir Juli, yang merupakan puncak periode panen dan penggilingan tebu.
Dari situlah Harloff akhirnya menyerah dan mengirim kawat pada Gubernur Jenderal dan Raad van Indie untuk mencabut hak berserikat dan berkumpul di Surakarta.
Seperti biasanya, Dr. Tjiptomangoenkoesoemo tak tingal diam. Berbeda dari biasanya, kali ini Tjipto menulis puisi. Puisi yang diterbitkan di surat kabar Panggoegah itu juga dinyatakan sebagai deklarasi resmi Sarekat Hindia cabang Surakarta.
Tjipto menulis: “Jika terompet menggema untuk perjuangan/Dan kentongan dan berita lantang terdengar/Batoro Kolo meminta korban/…Kita harus tunjukkan keikutsertaan kita/Ini dadaku/Mana dadamu?”
Kendati berbentuk syair, suara Tjipto justru lebih keras dari biasanya. Dalam dunia pewayangan Jawa, Batara Kala adalah putra Batara Guru yang berujud raksasa. Dia dilekati sifat serakah, penghancur dan biasa memakan (1) anak tunggal, (2) anak yang punya empat saudara kandung yang kelimanya laki-laki semua atau perempuan semua dan (3) anak yang hanya punya satu saudara kandung dan keduanya laki-laki semua atau perempuan semua.
Tjipto menyebut pemerintah Hinda Belanda sebagai “Batoro Kolo” yang serakah dan gemar menghancurkan. Dengan menggunakan metafor dunia pewayangan, Tjipto berharap sarkasmenya tak terendus pemerintah kolonial. Syair itu memang tidak ditujukan kepada pemerintah kolonial tetapi kepada rakyat di Surakarta. Sebab hanya rakyat Jawa yang mengerti benar siapa Batara Kala.
No comments:
Post a Comment