Ekonomi Hatta
16 Juli 1945. Hari ini, 62 tahun silam, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menerima rancangan konstitusi bidang perekonomian yang disusun panitia keuangan dan perekonomian BPUPKI. Hasil dari rancangan panitia inilah yang kemudian menjadi (salah satunya) Pasal 33 UUD 1945.
Di sana tercantum trilogi ayat berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kata-kata “dikuasai oleh negara” bahkan disebut sebanyak dua kali dalam pasal 33 UUD 1945 yaitu pada ayat 1 dan 2. Hal yang hampir sama dapat kita jumpai pada pasal 38 UUD Sementara (UUDS) 1950, tepatnya pada pasal 38 ayat 2 dan 3.
Mohammad Hatta, dalam sidang BPUPKI, merumuskan pengertian “dikuasai oleh negara” itu tidak berarti “negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal.”
Muhammad Yamin, yang anehnya dimasukkan oleh ketua BPUPKI ke dalam panita perumus bidang keuangan dan perekonomian BPUPKI, merumuskan pengertian “dikuasai oleh negara” dalam kerangka peran negara “mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan koperasi.”
Panitia keuangan dan perekonomian BPUPKI yang diketuai Hatta juga melampirkan “pengertian resmi” dari klausul “dikuasai oleh negara” yaitu (1) Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat; (2) Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya persertaan pemerintah;(3) Tanah … haruslah di bawah kekuasaan negara; dan (4) Perusahaan tambang yang besar … dijalankan sebagai usaha negara.
Pasal 33 UUD 1945 yang disahkan BPUPKI itu berada pada Bab XIV UUD 1945 di bawah judul “Kesejahteraan Sosial”. Dengan menempatkan pasal 33 UUD 1945 di bawah judul Bab “Kesejahteraan Sosial” itu, pembangunan ekonomi nasional semestinya mengusahakan peningkatan kesejahteraan sosial dan bukan semata pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fisikal.
Itulah sebabnya Hatta, yang berperan besar dalam perumusan pasal 33 UUD 1945, pada awal Orde Baru pernah menegaskan bahwa pasal-pasal tentang perekonomian Indonesia dalam UUD 1945 adalah “pasal tentang restrukturisasi ekonomi untuk mengatasi ketimpangan struktur ekonomi di Indonesia.”
Perkataan Hatta ihwal “restrukturisasi ekonomi” di atas hampir senada dengan bunyi ayat (1) pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.” “Disusun” dalam konteks restrukturisasi ekonomi Hatta berarti mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, menghilangkan subordinasi ekonomi (yang tidak emancipatory) dan menggantinya dengan demokrasi ekonomi (yang participatory dan emancipatory).
Denan itu, Hatta sebenarnya tak sekadar menginginkan suatu perbaikan ekonomi yang memihak kepada rakyat, tetapi juga mencakup usaha-usaha untuk mematahkan dominasi-dominasi struktur ekonomi kolonial yang ketika itu masih begitu kuat.
Ketika nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing berlangsung dengan penuh semangat pada periode Demokrasi Terpimpin, Hatta yang sudah “pensiun” dari pemerintahan sebenarnya tak keberatan. Tapi Hatta percaya bahwa nasionalisasi sekadar pintu masuk. Tanpa disertai upaya sistematis untuk mematahkan struktur ekonomi yang melanggengkan ketimpangan ekonomi, nasionalisasi perusahaan asing bagi Hatta dianggap tak akan banyak membantu.
No comments:
Post a Comment