Java Oorlog
20 Juli 1825. Hari ini, 182 tahun silam, pemerintah Belanda mengirim serdadadu dari Yogyakarta untuk menangkap Pangeran Diponegoro yang berdiam di Tegalrejo (sebelah Barat Yogyakarta). Pada hari itu lonceng pertanda dimulainya Perang Jawa (Java Oorlog) berdentang.
Tingkat destruksi yang diakibatkan Perang Jawa bisa menunjukkan seberapa sengit perang ini berlangsung. Dari 23 ribu serdadu Belanda yang dikerahkan (tiga ribu di antaranya didatangkan langsung dari Belanda), delapan ribu di antara tewas. Sementara jumlah serdadu bumiputera yang dikerahkan Belanda ditemukan tuju ribu di antaranya tewas. Mereka berasal dari Legiun Mangkunegaran (Surakarta), Madura dan Sulawesi Utara.
Sementara rakyat Jawa yang tewas akibat konflik bersenjata ini berlipat-lipat lebih banyak. Sejarawan MC Ricklefs mengajukan angka hingga 200 ribu orang Jawa kedapatan tewas, sehingga penduduk Yogyakarta disebut-sebut hanya tinggal separuhnya. Perkiraan penduduk Yogyakarta berkurang separuh itu pasti juga diakibatkan wabah, disentri serta paceklik yang menyerang Vorstendlanden (Yogyakarta-Surakarta) sejak 1921.
Tapi tak hanya rakyat jelata saja yang memberikan dukungan, para bangsawan Yogyakarta pun banyak yang memberikan dukungan pada Diponegoro, baik langsung maupun tidak.
Ricklefs menyebut 15 dari 29 pangeran dari Kraton Yogyakarta memberikan dukungannya pada Diponegoro. 41 dari 88 bupati juga memberikan dukungan. Susuhunan Pakubuwana VI dari Kraton Surakarta memang tidak memberikan dukungan para Diponegoro, tetapi cukup jelas juga bahwa yang bersangkutan sama sekali tidak memihak Belanda. Ini berbeda dengan istana Mangkunegaran yang bahkan sampai mengirimkan lagiunnya yang terkenal untuk ikut menumpas perlawanan Diponegoro.
Perang yang berlangsung hingga 23 Maret 1830 ini menjadi perlawanan bersenjata paling sengit yang pernah dihadapi Belanda di seantero tanah Jawa. Total jenderal biaya perang yang dihabiskan pemerintah kolonial mencapai 20 juta gulden.
Karena menganggap Kraton Yogyakarta sebaga pihak mesti bertangungjawab, daerah-daerah mancanegara milik Yogyakarta, seperti Banyumas dan Bagelen (Purworejo) pun dicaplok. Tak cuma itu, daerah mancanegara Kraton Surakarta, seperti Madiun dan Kediri, akhirnya ikut diambil.
“Pencaplokan” itu dilakukan untuk menutupi biaya perang yang amat besar. Karena itu pun diangap tidak mencukupi, seluruh Nusantara beberapa tahun kemudian digiring oleh van den Bosch untuk menuju sistem tanam paksa.
Implikasi Perang Jawa tak berhenti sampai di situ. Susuhunan Pakubuwana VI yang merasa diperlakukan tidak adil, menyusul “pencaplokan” Kediri dan Madiun, pergi ke Laut Kidul (Samudera Hindia) tanpa meminta ijin Residen Surakarta. Sikap tersebut dianggap pemerintah kolonial sebagai pembangkangan dan sebagai upaya menghimpun kekuatan. Pakubuwana VI akhirnya dibuang ke Ambon hingga wafatnya pada 1849.
Bagi tatanan tradisional Jawa, berakhirnya Perang Jawa sealigus juga menjadi akhir dari perlawanan bersenjata yang dilakukan para bangsawan Jawa. Sejak itulah, para bangsawan Jawa, baik dari Surakarta maupun Yogyakarta, membuang jauh-jauh impian-impian untuk mengusir pemerintah kolonial.
Akibatnya sungguh dalam. Sejak itulah, kekuasaan tradisional Jawa praktis kehilangan kekuasaannya yang efektif sekaligus kehilangan banyak sekali wilayahnya yang produktif. Peran kraton-kraton Jawa surut ke dalam dan hanya menjadi lembaga-lembaga ritual.
Kerja-kerja konservasi dan revitalisasi nilai-nilai kebudayaan Jawa mulai menjadi fokus utama kraton-kraton Jawa sejak itu. Nancy Florida menemukan bahwa sejak itulah upacara-upacara di istana Jawa direvitalisasi hingga ke tingkat kerumitan yang tak pernah dijumpai sebelumnya.
Dari situlah, surutnya kekuasaan riil menemukan kompensasinya.
No comments:
Post a Comment