Ulama dan Pembangunan
21 Juli 1975. Hari ini, 32 tahun silam, untuk pertama kali digelar Musyawarah Nasional Ulama se-Indonesia. Musyawarah Nasional Ulama yang digelar di Balai Sidang Jakarta ini digelar selama sepekan, dari 21 Juli hingga 27 Juli 1975.
Dalam Musyawarah Nasional yang diikuti sekira 150 ulama dari seluruh Indonesia itu, isu-isu ihwal peranan agama dan para ulama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi salah satu isu paling penting yang dibahas. Pada matra yang lebih spesifik, Musyawarah Nasional Ulama banyak berkutat pada isu ihwal posisi dan peran agama dan ulama dalam persoalan pembangunan nasional.
Dari perspektif para ulama, Musyawarah Nasional Ulama ini dianggap strategis untuk menjawab tantangan zaman yang dianggap mulai meminggirkan nilai-nilai agama dan spiritual.
Dalam frame pemahaman ulama sebagai penerus para Nabi (warosatul anbiya) problem eksistensial yang dihadapi agama itu akhirnya juga menjadi problem eksistensial ulama. Makin terdesaknya nilai-nilai agama mau tak mau akan berimplikasi pada kian terdesaknya pula peran krusial para ulama.
Tahun sewaktu Musyawarah Nasional Ulama ini diselenggarakan adalah salah satu faset penting dalam kekuasaan Orde Baru. Pada periode inilah ideologi pembangunan yang membawa gerbong modernisasi membawa implikasi kebudayaan yang tak sederhana. Anak-anak muda ditengarai mulai menjauhi nilai-nilai keagamaan sering makin pesatnya komunikasi dengan dunia luar melalui perangkat komunikasi, baik cetak maupun elektronik (TVRI, radio, media massa).
Bagi para ulama sendiri, isu soal dikuasainya lembaga-lembaga penting di Indonesia, seperti isu CSIS sebagai think-thank Orde Baru, menjadi kekhawatiran yang menyita pikiran. Bayang-bayang itu seakan menemukan rujukan faktualnya menyusul keluarnya besluit Presiden RI, Soeharto, yang menyebutkan bahwa semua organisasi di Indonesia wajib mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Dari perspektif pemerintah, digelarnya Musyawarah Nasional Ulama dibaca sebagai peluang untuk merangkul kaum agamawan untuk mendukung atau setidaknya tidak bersikap resisten terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang disemai di bawah bendera pembangunan (developmentalism).
Tahun-tahun di sekitar momen Musyawarah Nasional Ulama pada 1975 adalah titimangsa di mana cikal bakal perlawanan atas Orde Baru memulai babakannya yang terpenting. Kampanye anti modal-asing melahirkan kejutan Malapetaka 15 Januari (Malari). Ironinya, sejak periode itu hingga awal dekade 1990-an, kebanyakan umat Islam selalu menganggap pemerintah tak banyak mengakomodir kepentingan umat Islam.
Dari Musyawarah Nasional Ulama itulah lahir salah satu keputusan penting yaitu mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI dinyatakan secara resmi berdiri pada hari terakhir Musyawarah Nasional Ulama yaitu pada 27 Juli 1975. Hamka ditunjuk oleh para peserta sebagai Ketua MUI pertama.
Ideologi pembangunan yang merembes masuk tampak secara eksplisit dalam mukaddimah pendirian MUI. Di sana disebutkan: “…hakekat Pembangunan Nasional ialah Pembangunan Manusia seutuhnya, dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, suatu pembangunan yang seimbang, materiil spirituil, dunia akhirat. Oleh karena itu para ulama merasa bertanggung jawab untuk ikut serta mensukseskan Pembangunan Nasional.”
Di sana dirumuskan lima fungsi utama MUI yaitu: (1) sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya), (2) sebagai pemberi fatwa (mufti), (3) sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah), (4) sebagai gerakan Islah wa al Tajdid dan (3) sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar.
Ulama, sebagai salah satu pengisi lapisan tipis elit masyarakat (Julien Benda bahkan menunjuk peran kaum rohaniawan sebagai salah satu rujukan dari moral kaum intelektual), tak pernah lepas bebas dari sengkarut relasi kuasa yang sedang berlangsung.
No comments:
Post a Comment