Monday, July 23, 2007

Sastroadmidjojo

23 Juli 1955. Hari ini, 52 tahun silam, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya sebagai Perdana Menteri. Dengan diserahkannya mandat, berakhir pula Kabinet Ali Sastroamidjojo, untuk kemudian diganti oleh Kabinet Boerhanoeddin Harahap.

Kendati Ali Sastromidjojo tak mampu mengatasi tekanan oposisi, Ali tetap dicatat sebagai Perdana Menteri yang paling lama memimpin kabinet selama periode demokrasi liberal. Ali Sastroamidjojo mampu bertahan selama dua tahun kurang sepekan, antara 30 Juli 1953-23 Juli 1955.

Kabinet yang sebetulnya kokoh itu akhirnya jatuh, setelah NU, pendukung utama kabinet, mendesak agar kabinet dibubarkan akibat resistensi yang begitu tinggi dari banyak kalangam, terutama dari TNI AD, atas kebijakan mengangkat Kol. Bambang Utoyo sebagai KSAD.

Selama pemerintahan yang cukup panjang untuk ukuran periode demokrasi liberal, Kabinet Ali Sastroamidjojo punya sejumlah pencapaian yang tak bisa dianggap sepele.

Salah satu yang paling penting adalah fase-fase persiapan Pemilihan Umum 1955. Kendati Pemilu digelar pada 29 September 1955 pada masa kepemimpinan Boerhanoeddin Harahap, tapi pada masa kepemimpinan Ali Sastroamdidjojo-lah segala macam kebutuhan bagi penyelenggaraan Pemilu digarap dan diselesaikan.

Yang juga tak bisa dilupakan adalah keberhasilan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika pada 18 April hingga 24 April 1955. 29 negara pemimpin negara dan pemerintahan datang ke Bandung. Mereka melahirkan apa yang disebut sebagai Dasasila Bandung, yang kelak diadopsi sebagai nilai-nilai dasar terbentuknya Gerakan Non-Blok.

Bagi Ali Sastromidjojo sendiri, perhelatan Konferensi Asia-Afrika juga menjadi pencapaian prestasi tersendiri bagi dirinya. Hanya berkat diplomasi marathon yang digelar Ali sajalah Indonesia akhirnya bisa menjadi tuan rumah penyelenggaraaan Konferensi Asia-Afrika. Ali Sastromidjojo sendiri yang melobi pemimpin India, Srilanka dan Pakistan yang bersama Indonesia menjadi pemrakarsa Konferensi Asia-Afrika.

Setelah Kebinet Boerhanoeddin Harahap jatuh pada 1956, Ali Sastroamidjojo kembali dipercaya untuk kembal membentuk kabinet. Jika kabinet pertama yang ia pimpin dikenal sebagai Kebinet Ali I, maka kabinet kedua yang dipimpin Ali sering disebut sebagai Kabinet Ali II.

Kabinet yang berkuasa selama setahun ini (24 Maret 1956-14 Maret 1957) mencatat sebuah prestasi yaitu membentuk sebuah badan perancang pembangunan jangka panjang yang disebut Biro Perancang Negara (sekarang Bapenas).

Namun, lagi-lagi salah satunya karena persoalan di tubuh militer, yaitu munculnya sikap membangkang pemimpin militer daerah (munculnya Dewan Banteng dan Dewan Gajah), Ali akhirnya mengembalikan mandatnya. Kejatuhan ini juga menjadi akhir dari kekuasaan partai politik di Indonesia, karena sejak itulah, golongan fungsional (di masa Orde Baru: Golkar) makin menguasai peta politik Indonesia.

Sosok yang lahir pada 21 Mei 1903 ini merupakan politisi dan diplomat yang tangguh dan berpengaruh. Selain pernah memimpin kabinet selama dua kali, Ali Sastromidjojo juga menjadi Ketua Umum Partai Nasional Indonesia terlama, partai terbesar di 25 tahun pertama Indonesia. Pada masa kepemimpinannya itulah PNI memenangkan Pemilu pertama pada 1955.

Yang hingga kini masih menjadi tarik menarik adalah soal posisi dan sikap Ali terhadap PKI semasa Demokrasi Terpimpin. Ali sering disebut membangun relasi yang intens dengan CC PKI. Banyak yang percaya, Ali sering termakan oleh Surachman, salah satu petinggi PNI Pusat, yang memang dekat dengan PKI.

Tidak mengherankan jika pasca pageblug 1965, nama Ali pelan tapi pasti surut ke belakang. PNI yang dipimpin Ali menjadi salah satu sasaran tembak para demonstran pada 1966. Para demonstran menyebut PNI yang dipimpin Ali sebagai PNI-ASU (Ali-Surachman).

Sebagai orang Jawa yang lahir di Temanggung, Ali tahu benar betapa memerihkannya nama dan partai yang ia pimpin dipanggil dengan akronim yang juga merujuk pada sejenis satwa.

No comments:

_____________________________________ Jurnal