Anti-Fasis
24 Juli 1938.Hari ini, di Batavia, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) menggelar kongresnya yang pertama. Di awal pendiriannya, Gerindo ini diisi oleh sejumlah orang penting dalam pergerakan Indonesia, terutama orang-orang radikal seperti AK Gani, Muhammad Yamin, Mr. Sartono dan seorang Batak yang kelak menjadi Perdana Menteri, Amir Sjarifuddin.
Gerindo didirikan pada 24 Mei 1937 dengan diketuai oleh AK Gani. Ketika didirikan, Amir Sjarifuddin sendiri masih berada di Sukabumi, dan baru belakangan ia diangkat sebagai pimpinan urusan propaganda.
Gerindo dibentuk oleh kesadaran akan pentingnya menyusun strategi baru perjuangan. Sejak 1935, muncul kesadaran ihwal perjuangan pergerakan yang telah membentur tembok represi. Strategi non-kooperasi makin lama makin tidak menjanjikan. Kecenderungan berpindah garis perjuangan dari non-kooperasi menjadi kooperasi makin menguat.
Pada November 1936, Agoes Salim keluar dari Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) yang berhaluan non-kooperasi. Dia mendirikan Barisan Penjadar PSII untuk memerbaiki garis perjuangan PSII. Pada 1937, Salim dan Barisan Penjadar yang didirikannya dikeluarkan dari PSII. Salim sendiri menyebut perpindahan jalur perjuangan itu sebagai “politik hijrah”.
Gerindo juga muncul setelah Partindo dianggap mebentur kebuntuan dan akhirnya bubar. Strategi konfrontasi ala Partindo ternyata menghancurkan dirinya sendiri. Amir terlibat dalam bulan-bulan tak menentu itu dengan berpikir keras untuk merumuskan jalan politik baru dengan strategi yang lain. Dari titik itulah Gerindo lahir.
Hal yang relatif segar dari Gerindo terletak pada (1) analisisnya mengenai hubungan-hubungan internasional dan sistem ekonomi-politik global dan (2) pada gagasan bahwa krisis ekonomi kolonial yang ditandai bangkrutnya perkebunan-pekebunan akan berimbas pada krisis bagi politik kolonial.
Alih-alih memanfaatkan prediksi akan krisis politik kolonial untuk menggelar revolusi, Gerindo memilih jalan kooperasi dengan pemerintah kolonial melalui dialog mengenai kemungkinan-kemungkinan diselenggarakannya praktik demokrasi secara luas di Hindia-Belanda.
Karena pilihannya untuk bekerjasama itulah, tak mengherankan jika Gerindo juga bersedia membangun kerjasama untuk menghadapi gejala fasisme yang sedang menjalar di banyak belahan dunia, dari Jepang hingga Jerman. Gerindo membangun analisis ekonomi-politik global yang cermat dengan memrediksi bahwa Indonesia akan menjadi sasaran politik fasis Jepang, seperti Belanda yang menjadi sasaran politik fasis Jerman. Kelak, analisis ini terbukti presisi.
Gerindo percaya bahwa kejasama yang efektif antara pemerintah kolonial dengan organisasi-organisasi pergerakan untuk menangkal bahaya fasisme hanya mungkin dilakukan dengan cara, salah satunya, mendirikan satu parlemen yang memiliki wewenang memutuskan, bukan hanya memberi saran laiknya Volksraad. Pemilu, bagi Gerindo, menjadi tahapan yang penting untuk mencapai parlemen yang utuh dan memiliki kekuatan yang memadai.
Tidak mengherankan jika Gerindo menjadi salah satu pelopor didirikannya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang menetapkan sasaran dibentuknya parlemen Indonesia yang memiliki kekuasaan sendiri. Organisasi ini adalah gabungan dari Parindra, Gerindo, Persatuan Minahasa, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik Indonesia, Pasundan dan PSII. GAPI menyusun pimpinan harian yang di pegang oleh sekretariat yang terdiri dari tokoh politik Abikoesno Cokrosoejoso, Husni Thamrin dan Amir Sjarifudin.
Sewaktu analisis datangnya Jepang untuk mencaplok Indonesia terbukti benar, sel-sel Gerindo pula yang bisa dibilang berada di garis depan dalam perlawanan bawah tanah menentang fasisme Jepang, termasuk Amir sendiri.
No comments:
Post a Comment