Piutang Sovyet
25 Juli 1968. Hari ini, 39 tahun silam, pemerintah Indonesia bertemu dengan delegasi pemerintah Uni Sovyet untuk membicarakan penjadwalan ulang pembayaran utang Indonesia. Dalam serangkaian pertemuan itu, delegasi pemerintah Indonesia diwakili langsung oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik.
Hasil dari negosiasi itu tercermin dalam Nota Pengesahan Protokol mengenai penjadwalan dan cara-cara penyelesaian hutang-hutang Indonesia kepada Uni Sovyet. Tak hanya itu, Nota itu juga memuat sejumlah klausul di seputar hubungan ekonomi antara kedua negara.
Salah satu problem terbesar yang dihadapi oleh Orde Baru memang merupakan adalah utang besar dan menumpuk yang diwariskan pemerintahan Orde Lama. Pada akhir tahun 1965 saja jumlah utang itu sudah mencapai US$ 2,36 miliar.
Dari total hutang itu, 59,5 persen di antaranya adalah hutang kepada negara-negara komunis. Dari 59,5 persen hutang kepada negara-negara komunis itu, 42 persen di antaranya merupakan utang kepada Sovyet. Sisanya merupakan utang yang diberikan oleh negara-negara Barat non-komunis. Jepang menjadi negara non-komunis yang terbanyak memberi pinjaman yatu sebesar sembilan persen.
Dalam upaya menuntaska hutang-hutang itulah pertemuan antara pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Luar Negeri Adam Malik dengan delegasi Sovyet digelar di Jakarta.
Selain dengan Uni Sovyet, pemerintah Indonesia juga menggelar serangkaian pertemuan lain dengan negara-negara komunis dari wilah Eropa Timur, seperti Yugoslavia, Bulgaria, Hungaria, Cekoslovakia, Rumania, Polandia hingga Republik Demokrasi Jerman.
Pemerintah Indonesia juga menjajagi dan mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan negara-negara komunis itu mengenai kemungkinan pemberian bantuan ekonomi lebih lanjut untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Sehubungan dengan itu, antara lain dicapai persetujuan mengenai kerja sama ekonomi dan teknik dengan Rumania pada September 1972 dan Uni Sovyet pada bulan Desember 1974.
Hubungan dengan negara-negara komunis yang semula agak terganggu sebagai akibat peristiwa 30 September 1965, setahap demi setahap dipulihkan kembali sesuai dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Ini berbeda dengan hubungan antara pemerintah Indonesia dengan Cina. Jika hubungan dengan Sovyet berikut negara-negara yang selalu berada di belakannya relatif bisa dengan cepat dipulihkan, sentimen dan sikap antipati terhadap Republik Rakyat Cina justru makin menguat. Para mahasiswa yang menggelar demonstrasi sepanjang tahun 1966 seringkali menyuarakan retorika anti peerintahan Republik Rakyat Cina.
Kedekatan Partai Komunis Indonesia dengan Republik Rakyat Cina ketimbang dengan Sovyet menjadi salah satu sebab kian renggangnya hubungan kedua negara. Pada 1 Oktober 1967, dua tahun dari berlangsungnya peristiwa 1965, pemerintah Indonesia secara ekplisit memutuskan hubungan diplomatik dengan Repubik Rakyat Cina. Sebagai tindak lanjut, kedutaan besar Republik Indonesia di Peking secara resmi ditutup pada 30 Oktober 1967..
Sementara upaya untuk menyelesaikan hutang-hutang Indonesia kepada negara-negara Barat dan non-komunis sudah digelar sejak September 1966. Pada 19 September 1966, negara-negara Barat dan negara-negara kreditor Indonesia yang berhaluan non-komunis sudah bertemu dengan delegasi Indonesia untuk menuntaskan soal utang-piutang. Dari sinilah cikal bakal IGGI (International Group on Indonesia) dilahirkan.
Kedekatan dengan negara-negara Barat itu pula yang membuat pemerintah Indonesia tanpa bertele-tele menyerahkan kembali perusahan-perusahaan asing yang sempat dinasionalisasi secara sepihak selama periode Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno.
Tidak sampai setahun, Undang-Undang investasi baru pun disahkan untuk menggairahkan kembali investasi asing di Indonesia yang sebelumnya tak berkembang karena ancaman nasionalisasi oleh Soekarno.
No comments:
Post a Comment