Jejak sebuah Mandat
13 Juli 1949. Hari ini, 58 tahun silam, digelar pertemuan antara pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan wakil pemimpin Republik Indonesia yang pernah ditawan Belanda di Bangka. Dalam pertemuan itulah PDRI menyerahkan kembali mandatnya secara resmi kepada Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta.
Pertemuan ini menyelamatkan pemerintahan Indonesia dari perpecahan internal yang serius. Kesediaan PDRI menyerahkan kembali mandatnya itu membuat dualisme kekuasaan pemerintahan Indonesia bisa diselesaikan dengan baik. Momen yang jarang dicatat dan diingat ini punya implikasi yang tak sederhana.
Seperti kita ketahui, PDRI dibentuk berdasar kawat yang dikirim oleh pemerintah Indonesia pada menit-menit terakhir sebelum Soekarno, Hatta, Agoes Salim, Sjahrir hingga Mohammad Roem ditawan Belanda dalam Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.
Materi kawat itu berisi mandat kepada Mr.Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera, untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatra. Berdasar kawat itulah PDRI dibentuk dan diumumkan secara resmi pada 22 Desember 1948 di Halaban, Sumatera Barat. Sewaktu Soekarno-Hatta ditawan di Bangka, PDRI di Sumatera Barat inilah yang memimpin roda pemerintahan.
Campur tangan PBB yang merasa ditikam dari belakang oleh Belanda berhasil memaksa Belanda kembali duduk di meja perundingan. Dalam situasi itulah digelar Perundingan Roem-Royen pada Mei 1949. Perundingan inilah yang menghasilkan kesepakatan untuk mengembalikan pejabat Indonesia yang ditawan ke Jogja dan kesediaan Belanda untuk menggelar Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
PDRI merasa tak diajak bicara secara memadai padahal PDRI sudah diberi mandat resmi untuk mendirikan pemerintahan darurat. Para pemimpin PDRI juga berpendapat bahwa berunding dengan pemimpin-pemimpin yang ditawan melemahkan posisi tawar delegasi Indonesia dan memudahkan Belanda untuk memaksakan konsesi seperti yang dikehendakinya.
Kekecewaan itu muncul dengan kuat pada Musyawarah Besar PDRI yang dihadiri wakil-wakil pemerintahan di Sumatera. Pada momen-momen krusial ini Sjafruddin tampil. Dengan susah payah ia meyakinkan peserta musyawarah untuk menerima apa pun klausul Roem-Royen. Sjafruddin berargumen bahwa penolakan akan melahirkan dualisme kepemimpinan. Argumentasi itu dipaparkan Sjafruddin dengan muka merah padam menahan masygul karena ia merasa kepemimpinannya dikesampingkan begitu saja.
Tersedia banyak kemungkinan seandainya Sjafruddin Prawiranegara dan pemimpin PDRI lainnya bersikeras dengan kekecewaan dan kemasygulan merasa diabaikan. Perpecahan bisa muncul dalam kadar yang lebih menyusahkan ketimbang tekanan yang diberikan oleh PKI/FDR di Madiun pada 1948. Bisa menyusahkan karena konflik itu muncul di dalam internal pemimpin-pemimpin republik dan bukan antara pemerintah republik dengan oposisi.
Belanda bisa menggunakan friksi ini sebagai salah satu kartu truf untuk memainkan alur negosiasasi, menuntut konsesi yang lebih banyak. Belanda, setidaknya, bisa mengulur-ulur waktu sembari terus menanamkan pengaruh sedalam-dalamnya di “negara-negara boneka” yang telah berdiri di beberapa tempat.
Sejarah memang tak mengenal pengandaian karena pengandaian sama sekali tak bisa memberi penjelasan faktual. Pengandaian dalam sejarah baru bermanfaat untuk memertajam pemahaman dan analisis atas situasi dan konteks historis yang sedang berlangsung pada masa itu.
Dari perspektif itulah PDRI, Sjafruddin Prawiranegara serta pemimpin PDRI lainnya meninggalkan jejak penting. Jejak itu bukan semata karena keberhasilan PDRI menghidupkan pemerintahan darurat yang bisa mengunci klaim Belanda, tetapi juga pada “keikhlasan” mereka menyerahkan mandatnya kembali kepada pemerintahan Soekarno-Hatta.
Momen ini sama pentingnya dengan long march yang digelar Sjafruddin dan PDRI di daerah Sumatera. Inilah salah satu penanda penting dari kuatnya komitmen bersama untuk mendahulukan kepentingan kolektif ketimbang ambisi dan sentimen pribadi.
No comments:
Post a Comment