Koperasi
12 Juli 1947. Hari ini, 60 tahun yang lalu, digelar Kongres Koperasi I di Tasikmalaya, Jawa Barat. Peristiwa digearnya kongres yang dihadiri dihadiri puluhan utusan koperasi yang berada di wilayah Indonesia.
Dari kongres yang digelar dengan suasana penuh kesederhanaan itulah muncul semangat untuk membentuk satu wadah yang bisa menyatukan gerakan koperasi. Dari semangat yang sama itulah lantas dibentuk Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) yang sekarang berubah menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN).
Peristiwa tersebut muncul bukan dari ruang hampa sejarah. Keberadaan koperasi di Indonesia bahkan diakui dalam Undang-undang Dasar 1945, tepatnya dalam penjelasan pasal 33. Di situ disebutkan secara eksplisit bahwa perekonomian Indonesia disusun berdasarkan demokrasi ekonomi dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Mohammad Hatta berperan besar dalam merumuskan klausul tersebut. Bagi Hatta sendiri, koperasi bukanlah konsep yang baru ia pelajari. Pada 1926, sewaktu ia masih studi di Belanda, Hatta pernah diutus oleh Perhimpoenan Indonesia untuk mengunjungi negara-negara Skandinavia. Ketika berada di Denmark, Hatta mengakui begitu terkesan dengan dengan perkembangan koperasi di sana.
Dalam pidato menyongsong Hari Koperasi 1951, Hatta menjelaskan kenapa dirinya tertarik dengan koperasi. Pada koperasi, kata Hatta, ‘Tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan bersama.''
Jika Hatta berhasil memasukkan klausul mengenai koperasi dalam UUD 1945 pastilah itu bukan andil Hatta semata. Usulan Hatta bisa diterima, salah satunya, karena keberadaan koperasi sendiri muncul sejak masih era Hindia Belanda, yang artinya sudah menjadi realitas dan bukan barang baru.
Pada 1896, misalnya, R. Aria Wiriatmadja sudah memerkenalkan koperasi di Purwokerto. Dia mendirikan koperasi kredit untuk membantu rakyatnya yang terjerat hutang rentenir. Koperasi itu berkembang pesat dan “ditiru” Boedi Oetomo dan SDI.
Awalnya, pemerintah kolonial memandang curiga kecenderungan di atas. Dibayang-bayangi kekhawatiran rusaknya rust en orde dan kecurigaan gerakan koperasi bisa menjadi persemaian gerakan perlawanan, pemerintah kolonial lantas melansir beleid no. 431 tahun 1919 yang isi klausulnya menyulitkan ijin pendirian koperasi.
Peta mulai berubah setelah DH Boeke, sarjana ekonomi yang pernah menyusun teori dualisme ekonomi yang memengaruhi studi sejarah ekonomi di Indonesia, ditempatkan di kantor perekonomian. Masih berdasar teori dualisme ekonominya, Boeke yakin bahwa lembaga yang cocok untuk diterapkan pada perekonomian Hindia-Belada yang masih tradisional adalah koperasi.
Dari situlah akhirnya muncul beleid no. 91 tahun 1927 yang isinya lebih ringan dari UU no. 431. Beleid itu mengijinkan koperasi yang didirikan dengan menggunakan bahasa daerah, mengijinkan koperasi beroperasi sesuai hukum dagang daerah masing-masing dan perijinannya pun dapat diurus di daerah tempat koperasi itu akan didirikan.
Kini, gerakan koperasi menghadapi tantangan zaman yang berbeda, dengan tingkat kesulitan yang bukannya makin kendur. Ini bukan khas Indonesia saja. Sejak 1980, gerakan koperasi sudah menyadari munculnya tantangan zaman yang diberikan oleh globalisasi dan liberalisasi ekonomi.
Dari sini muncul dua kecenderungan utama dalam International Cooperation Alliance (ICA): menginginkan gerakan koperasi melihat pengalaman swasta dan agar gerakan koperasi kembali mendalami semangat koperasi ataukah mencari kekuatan gerakan dari akar munculnya koperasi sendiri.
Terlepas dari perdebatan itu, gerakan koperasi bersama unit usaha kecil dan menengah di Indonesia masih dibutuhkan untuk melatih, mendidik dan memertajam kemampuan enterprenuership manusia Indonesia. Peran edukatif inilah yang menjadi poin penting keberadaan gerakan koperasi sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya membangun kembali perekonomian Indonesia.
No comments:
Post a Comment