Saturday, July 28, 2007

“Pergolakan Internal”

28 Juli 1965. Hari ini, 47 tahun silam, serangan bersenjata dari kelompok separatis Papua muncul pertama kali di Arfai, Manokrawi. Ini menjadi awal dari gerakan perlawanan bersenjata dari Organisasi Papua Merdeka atau yang sekarang dikenal dengan OPM.

Serangan ini dilakukan oleh anggota bekas Bataliyon Papua (Papoea Vrijwilingers Korps). Papoea Vrijwilingers Korps adalah kesatuan militer yang sepenuhnya diisi oleh warga asli Papua. Pada awalnya, kesatuan ini didirikan oleh Komandan Polisi Hollandia (sekarang Jayaapura), Jan van Eechoud pada Oktober 194o, beberapa saat menjelang berkobarnya Perang Dunia II di front Pasifik.

Pilihan untuk membentuk Papoea Vrijwilingers Korps merupakan manifestasi dari keinginan Belanda untuk membangun Papua di luar strategi dan rencana-rencana sosial, ekonomi, politik dan pendidikan. Ini juga merupakan jawaban Belanda terhadap desakan Amerika yang menginginkan agar Belanda lebih memerhatikan West New Guinea.

Serangan yang dilakukan pada 28 Juli 1965 ini menandai usaha eksplisit sejumlah elit Papua yang tidak puas dengan pihak Indonesia. Ini dilakukan dua tahun setelah OPM didirikan pada 1963 dan empat tahun sebelum diselenggerakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.

Di awal-awal kemunculannya, OPM sendiri tidak bebas dari keberadaan faksi-faksi. Setidanya ada dua faksi yang muncul di masa-masa awal OPM. Faksi pertama dipimpin oleh Aser Demotekay yang memilih jalur kooperatif dengan pemerintah Indonesia. Faksi ini berubah haluan setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) menghasilkan integrasi Papua Barat dengan Indonesia.

Faksi kedua yang muncul di Manokrawi dipimpin oleh Terianus Aronggear. Sedari kemunculannya, faksi ini sudah memilih jalan perjuangan politik dan kekuatan bersenjata. Terianus Aronggear lantas berhasil tertangkap pada 12 Mei 1965. Penangkapan ini direspons oleh anak buah Terianus Aronggear dengan menyerang asrama militer Indonesia di Arfai pada 28 Juli 1965.

Apa yang berlangsung di Papua pada 1965 itu menunjukkan bahwa usaha untuk membangun “komunitas besar Indonesia” pada 20 tahun pertama kemerdekaan Indonesia masih penuh dengan rintangan.

Bahkan belum sampai setahun Indonesia menikmati kemerdekaannya, yaitu pada 1946, sudah muncul “negara-negara boneka” yang dipicu oleh strategi yang digelar oleh van Mook. Pada 15 Juli 1946, van Mook menyelenggarakan sebuah konferensi di Malino, Sulawesi Selatan, yang dihadiri utusan beberapa daerah. Pada konferensi itulah muncul gagasan untuk mendirikan suatu negara yang meliputi daerah-daerah di Indonesia bagian Timur.

Sebagai kelanjutan Konferensi Malino, digelar pula Konferensi Pangkalpinang pada 1 Oktober 1946 yang membicarakan “masalah-masalah golongan minoritas” dan dilanjutkan dengan Konferensi Denpasar yang menghasilkan pembentukan Negara Indonesia Timur.

Sejak itulah, satu per satu, muncul “proklamasi tandingan” yang menyatakan kelahiran negara-negara baru, seperti negara Pasundan, Dewan Federal Borneo, negara Madura, hingga negara Sumatera Timur.

Tentu saja tidak mudah membangun sebuah negara-bangsa seperti Indonesia, yang merupakan negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, diseraki 17 ribu pulau lebih berikut ribuan suku dan adat-istiadat yang berbeda. Amat wajar jika mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, beberapa hari lalu, menyatakan tidaklah mudah memimpin dan mengelola negara sebesar dan seheteregon seperti Indonesia.

Proklamasi pada 17 Agustus 1945 adalah konsensus yang mesti terus menerus diolah dan diperkuat dengan kesadaran ihwal arti pentingnya merawat Indonesia dengan cara yang bisa mengakomodasi keberagaman Indonesia yang tak terpermanai ini.

Perdebatan di BPUPKI ihwal batas negara dan polemik dasar negara yang berlanjut di Dewan Konstituante adalah percikan dari pergolakan internal untuk terus mencari dan menemukan bentuk ideal dari bangunan ke-Indonesia-an.

No comments:

_____________________________________ Jurnal