Fort Marlbrough, 1718
Benteng (Fort) Marlborough, yang terletak di pantai Tapak Padri, Bengkulu, menjadi salah satu tilas terbesar yang mengabadikan keberadaan kolonialisme Inggris di Nusantara. Keberadaan benteng ini juga menyiratkan betapa kolonialisme, sekokoh apa pun kekuatan militer yang dimilikinya, selalalu melahirkan rasa cemas dan mungkin juga paranoia.
Kolonialisme Inggris, yang dioperasikan oleh East India Company, memang rajin membangun benteng yang kukuh lagi menjulang. Sebelum mendirikan Benteng Marlborough, Inggris juga membangun bentang yang jauh lebih besar di Madras, India. Dari benteng Fort St. Goerge di Madras inilah East India Company mulai melebarkan sayapnya ke pojok-pojok Asia dan Pasifik.
Benteng Marlborough, yang pembangunan pertamanya selesai pada 1718, dibangun untuk kepentingan yang hampir sama dengan Fort St. George di Madras. Jika benteng di Madras menjadi pusat kendali semua aktivitas kolonial Inggris di India, Benteng Marlborough dibangun sebagai pusat kendali aktivitas Inggris di sepanjang pantai barat Sumatera.
Seperti juga benteng di Madras, Benteng Marlborough juga dibangun untuk kepentingan dan kegiatan pemerintahan, administrasi, perdagangan dan aktivitas-aktivitas sipil lainnya.
Tidak mengherankan jika di dalam benteng juga tersedia rumah-rumah yang disediakan sebagai tempat tinggal para pejabat atau perwira. Di sanalah mereka tinggal bersama keluarga masing-masing. Di dalam benteng pula mereka membangun satu "masyarakat" dengan interaksi sosial sehari-hari, laiknya masyarakat pada umumnya.
Karena begitu vitalnya Benteng Marlborough bagi aktivitas kolonialisme Inggris di Bengkulu, tidak mengherankan jika benteng ini dibangun dengan kekuatan yang nyaris sempurna. Benteng ini dilindungi oleh dua lapis tembok. Lapis luar setebal 8,56 meter dan lapis dalam setebal 1,8 meter. Asumsinya, jika tembok luar berhasil ditembus, pasukan bisa bergerak ke dalam dan membangun barisan pertahanan baru.
Kekokohan bangunan benteng ini sudah teruji oleh zaman. Ketika pada tahun 2000 silam Bengkulu diguncang gempa 7,3 skala richter, Benteng Marlborough yang ketika itu sudah berusia 2,5 abad lebih nyaris tak tergoyahkan.
Benteng memang dibangun untuk mengatasai rasa takut dan menciptakan perasaan aman dan terlindung.
Maka, ketika Inggris memilih untuk membangun benteng-benteng yang kokoh dan menjulang sebagai pusat kendali koloni-koloni yang memberi mereka kekayaan dan kemasyhuran, pada saat yang sama mereka sebenarnya mengakui bahwa kolonialisme selalu melahirkan rasa takut dan cemas.
Kecemasan dan ketakutan itu, terkadang, melebihi kecemasan penduduk koloni yang merasakan langsung efek menindas kolonialisme. Benteng Marlborough yang tak tergoyahkan oleh gempa sekali pun menjadi ilustrasi yang menunjukkan bahwa di jantungnya yang terdalam kolonialisme juga mengidap paranoia, rasa takut yang menjulang.
Paranoia ini pula yang membuat para perwira dan pejabat tinggi East India Company undur diri ke dalam benteng yang terisolir, tinggal bersama keluarganya di sana, dan membangun interkasi sosial di antara mereka sendiri.
Paranoia itu disempurnakan oleh keberadaan nisan yang disematkan di langit-langit yang melengkung yang terletak di antara tembok luar dan tembok dalam. Salah satunya adalah nisan Deputi Gubernur Richard Wats. Tak jauh dari sana, terpacak tiga makam, salah satunya makam Residen Richard Parr yang mati terbunuh pada Desember 1807.
Penyematan nisan dan keberadaan kuburan di benteng itu tidak hanya sebagai memorabilia untuk mengenang para petinggi benteng yang telah mendiang. Nisan-nisan dan kuburan itu jadi peringatan bahwa kematian siap mengancam kapan saja, bahkan kendati berada di dalam benteng yang kokoh dan tebal sekali pun.
Benteng kolonial yang tebal menjadi penanda bahwa kolonialisme yang tampaknya kokoh sekali pun tak mampu mengusir rasa takut dan cemas.
No comments:
Post a Comment