Tanggalnya Dwi Tunggal
1 Desember 1956. Hari ini, 51 tahun silam, Wakil Presiden Mohammad Hatta, resmi melepaskan jabatannya. Surat pengunduran diri Hatta sebenarnya sudah dikirim jauh-jauh hari sebelum itu yaitu pada 20 Juli 1954. Dwi tunggal Soekarno-Hatta, mulai hari itu juga, resmi tanggal. Berpisah jalan.
Meski telah mengundurkan diri, namun banyak pihak yang menginginkan agar Hatta bisa kembali aktif di pemerintahan. Beberapa agenda dan pertemuan digelar untuk menjajaki kemungkinkan ke arah itu.
Pada bulan September 1957, atas prakarsa Perdana Menteri Ir Djuanda, digelar Musyawarah Nasional yang membahas kemungkinan rekonsiliasi antara Soekarno-Hatta. Beberapa anggota DPR juga mengajukan mosi mengenai pemulihan kerja sama antara Soekarno-Hatta. DPR sendiri kemudian menerima mosi tersebut dan menyepakati dibentuknya panitia Ad Hoc untuk mencari dan merumuskan bentuk kerja sama yang baru antara Soekarno-Hatta. Panitia tersebut resmi dibentuk pada 29 September 1957 dan dikenal sebagai Panitia Sembilan.
Hingga pembubaran resmi panitia Sembilan itu pada Maret 1958, tak ada keputusan konkrit yang dihasilkan. Publik yang berharap Soekarno-Hatta bisa bekerjasama harus menelan mentah-mentah harapannya. Dwi tunggal, yang sudah nyaris menjadi mitos dan legenda itu, dipastikan pecah kongsi selamanya.
Bibit perpecahan antara Soekarno-Hatta memang sudah berusia panjang, bahkan setua karir mereka di kancah politik, sejak mereka masih sama-sama menggelorakan kebangkitan nasional di masa kolonial.
Ada empat poin utama yang membedakan antara Soekarno-Hatta. Pertama, sejak masa kolonial, keduanya sudah berbeda jalan ihwal bagaimana jalan perjuangan memerdekakan Indonesia digelar. Soekarno lebih memilih jalan menggelorakan semangat massa rakyat dengan cara mengagitasi lewat orasi-orasi yang mengguntur. Sementara Hatta lebih memilih jalan pendidikan dan kaderisasi massa rakyat.
Kedua, ketika kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan sudah dicapai, bagi Hatta, revolusi nasional berarti sudah selesai. Sudah saatnya membangun Indonesia, dengan memerbaiki kondisi ekonomi Indonesia. Sementara bagi Soekarno, revolusi nasional masih jauh dari tuntas. Selama kolonialisme dan imperialisme masih bergentayangan, revolusi masih terus berlangsung. Konfrontasi Malaysia dan kampanye perebutan Irian Barat merefleksikan pandangan Soekarno ihwal revolusi nasional itu.
Ketiga, Hatta percaya demokrasi yang baik harus berdiri di atas penghormatan yang kukuh atas kemajemukan. Keberadaan partai-partai politik akan memerkaya hal itu. Sementara bagi Soekarno, persatuan nasional adalah segalanya. Partai-partai politik dianggap sebagai virus yang menggerogoti persatuan nasional. Dengan sistem demokrasi terpimpin, Soekarno menerjemahkan visi persatuan nasionalnya itu. Visi persatuan, yang menurut Hatta dalam kritiknya yang tajam yang ditulis dalam artikel panjang Demokrasi Kita, justru akan membuat “persatuan menjadi persatean”.
Di atas semua itu, Soekarno-Hatta memang berbeda watak kepemimpinannya. Dalam tipologi yang pernah disusun Herbert Feith, Soekarno adalah wakil dari tipe solidarity maker yang dicirikan oleh kemampuannya menggalang semangat kolektif lewat wibawa dan kharismanya yang tak tertandingi. Sementara Hatta adalah wakil dari tipe administrator yang dicirikan oleh kemampuannya yang mumpuni dalam membangun negara dari aspek yang detail-teknis, kemampuan manajerial, dan menyusun serta merencanakan visi dan cara pembangunan nasional.
Dalam pengertian itu, dwi tunggal sebenarnya sebuah visi kepemimpinan Indonesia tentang bagaimana sebaiknya kombinasi pucuk kepemimpinan Indonesia itu diisi.
No comments:
Post a Comment