Mengabadikan Sejarah
2 Desember 1967. Hari ini, 40 tahun silam, Lembaga Arsip Nasional secara resmi ditetapkan sebagai lembaga pemerintah non departemen yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Penetapan itu dilakukan berdasar Keputusan Presiden No. 228/1967. Puncak perubahan status lembaga arsip itu terjadi pada 1974, ketika lembaga Arsip Nasional secara resmi berganti nama menjadi lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Sebelum resmi menjadi lembaga non departemen, ANRI selalu berada di bawah struktur sebuah kementerian. Di awal-awal kemerdekaan, ANRI ditempatkan di bawah Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Pada 1961, penyelenggaraan segala urusan ANRI dipindahkan ke Kementerian Pertama RI (kementerian yang selevel dengan Perdana Menteri), termasuk wewenang, tugas dan kewajiban, serta hak-hak dan kewajiban keuangannya.
Pada 1962, ANRI ditempatkan di bawah Wakil Menteri Pertama Bidang Khusus. Penempatan Arsip Nasional di Bidang Khusus dimaksudkan supaya arsip lebih diperhatikan, karena bidang ini khusus diperuntukkan bagi tujuan penelitian sejarah.
Penetapan ANRI sebagai lembaga non departemen juga menunjukkan makin besarnya kesadaran dan komitmen negara ihwal arti penting arsip kenegaraan sebagai rekam jejak perjalanan bangsa dan negara.
Jika menengok secara detail koleksi ANRI, betapa melimpahnya arsip yang berasal dari periode kolonial, yang dikumpulkan Landarcheif yang didirikan sejak 28 Januari 1892. Sebagian besar koleksi arsip ANRI dari periode kolonial berasal dari koleksi Landarchief itu.
Dalam beberapa hal, terutama dalam menjaga dan merawat arsip sebagai rekam jejak identitas dan sejarah sebuah bangsa, kita bisa belajar banyak pada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Mereka punya kesadaran yang amat tinggi ihwal arti pentingnya mendokumentasi segala hal yang terkait dengan pengelolaan negara dan pemerintahan.
Hingga kini pun, sejumlah arsip-arsip penting dan banyak sekali artefak-artefak kebudayaan yang masih tersimpan di Belanda atau di beberapa lembaga arsip dan perpustakaan di manca negara. Tak mengenakkan rasanya jika para peneliti dan sejarawan Indonesia yang ingin meneliti sejarah bangsanya sendiri justru harus terbang ke (misalnya) Leiden, Belanda, atau ke perpustakaan Cornell, Amerika.
Kita tak bisa dengan serta merta mendakwa pihak asing itu sebagai pencuri, karena kesadaran kita untuk mengelola dan merawat arsip dan dokumen juga masih belum massif. ANRI karenanya punya tugas berat untuk menyemai kesadaran ihwal arti pentingnya menjaga dan merawat semua dokumen yang terkait dengan pengelolaan kenegaraan, supaya tak lagi kita dengar ada dokumen penting yang raib, seperti Supersemar yang sungguh penting itu.
Sejarah sebagai sebuah peristiwa di masa lampau sudah terselimut ruang dan waktu yang berkabut. Peristiwa itu telah retak menjadi serpihan-serpihan arsip dan dokumen. Arsip adalah ikhtiar manusia untuk mengabadikan sesuatu yang sudah retak itu. Tanpa langkah-langkah serius untuk mengelola dan merawat arsip-arsip, kita akan kehilangan peluang memanfaatkan sejarah sebagai sumur kebijaksanaan yang tak habis-habisnya untuk ditimba.
No comments:
Post a Comment