Tuesday, December 4, 2007

Bioskop sebagai Tanda Zaman

5 Desember 1900. Hari ini, 107 tahun silam, di Tanah Abang, Batavia, bioskop pertama berdiri di Hindia Belanda. Di awal abad dua puluh itulah, untuk pertama kali, “gambar idoep” tayang pertama kali di bumi Hindia Belanda. Di bioskop pertama itu, tempat duduk dipisahkan antara penonton perempuan dan laki-laki. Ketika film usai diputar, para penonton akan berteriak memanggil pasangan masing-masing.

Kehadiran bioskop di awal abad 20 itu terbilang cukup fenomenal, mengingat bioskop muncul pertama kali di dunia hanya berselang 5 tahun sebelumnya, persisnya pada 28 Desember 1895, di Paris. Pemerintah kolonial Belanda memang terbilang rajin dalam mencangkok teknologi modern: kereta api, listrik, dan kemudian bioskop serta film. Untuk ukuran itu, koloni Hindia Belanda tak ketinggalan dengan koloni-koloni lain di Asia.

Di awal-awal kemunculannya, bioskop dan “gambar idoep” masih menjadi ruang yang elitis. Para penonton yang menyaksikan “gambar idoep” terbatas di kalangan orang-orang Belanda atau para bangsawan. Mereka kerap memutar film di tempat-tempat elit seperti Societet atau Kamar Bola.

Masyarakat di sekitar Kraton Surakarta pernah menggelar “budaya tanding” atas “budaya tinggi” dalam dan bioskop di masa kekuasaan Pakubuwana X di tahun 1910-an. Menyadari bahwa mereka, rakyat jelata itu, tak punya akses pada film yang diputar di bangsal-bangsal istana, yang suaranya terdengar hingga keluar benteng Kraton, rakyat di sekitar Kraton menyebarkan isu tentang sebuah sumur ajaib yang dindingnya dipenuhi gambar-gambar gajah yang bergerak-gerak, laiknya “gambar ideop”. Maka, seperti yang dipaparkan Kuntowijoyo dalam esai Sumur Ajaib, tiap kali istana sedang memutar film, rakyat jelata di sekitar Kraton berbondong-bondong menyaksikan “gambar idoep” yang lain.

Menyusul mulai munculnya elit-elit pribumi baru di Hindia-Belanda, para “bangsawan pikiran” dan saudagar-saudagar kaya, yang menandai mulai pasangnya gerakan kebangkita nasional, bioskop tak lagi menjadi tempat yang elitis yang hanya bisa dijangkau orang-orang Belanda atau para bangsawan Kraton. Siapa pun yang punya kemampuan membeli karcis masuk bisa menyaksikan “gambar idoep”.

Pada 1926, hampir bersamaan dengan berlangsungnya perlawanan bersenjata pertama yang digelar sebuah organisasi modern (PKI), untuk pertama kali diproduksi sebuah film, yang kendati dibsutradarai orang asing (L. Heuveldorp), tapi sudah menampilkan cerita asli Indonesia. Film berjudul Loetoeng Kasaroeng itu mengangkat legenda masyarakat Pasundan dan dibintangi orang Indonesia, di antaranya, putra-putra Wiranatakusumah (Bupati Bandung).

Dalam masa pergerakan kemerdekaan, para pengusaha bioskop di Hindia Belanda tak mau ketinggalan. Mereka mendirikan Gabungan Pengusaha bioskop Hindia Belanda (Naderlandsh Indische Bioscoopboond) pada 1936. Setahun kemudian bioskop-bioskop itu mulai secara massal memutar film Terang Bulan yang dibintangi Roekiah dan Raden Mochtar.

Menyaksikan betapa bioskop mulai tergeser menjadi tontonan yang massal dan populer dan tak hanya diputar di societet atau Kamar Bola, mulai munculnya film yang mengadopsi cerita-cerita Indonesia serta munculnya Gabungan Pengusaha Bioskop Hindia Belanda, bioskop akhirnya bisa diposisikan sebagai kaca benggala, semacam penanda zaman, yang mencerminkan jiwa zaman (zeit geist) yang sedang berlangsung: semangat nasionalisme yang mulai mekar.

No comments:

_____________________________________ Jurnal