Haji sebagai Ritus Perlintasan
4 Desember 1974. Hari ini, 33 tahun silam, pesawat DC-8 Martin, milik perusahaan penerbangan Martin Air, Belanda, yang dicarter PT Garuda untuk mengangkut jemaah haji Indonesia, mengalami kecelakaan naas di Sri Lanka.
Pesawat menabrak bukit karang di sebelah selatan Kolombo, ibu kota Srilanka. Seluruh jemaah haji yang berasal dari embarkasi Djuanda, Surabaya, yang jumlahnya 182 orang, plus sembilan awak pesawat, meninggal di tempat. Beberapa jenazah atau bagian jenazah yang dapat ditemukan diangkut kembali ke Indonesia pada 11 Desember 1974 dan dimakamkan di halaman Mesjid Sunan Ampel, Surabaya.
Peristiwa ini tidak hanya diliput secara besar-besaran oleh pers dalam dan luar negeri, melainkan juga diabadikan sebagai ending dari kisah cinta yang indah dan mengharukan dari roman Burung-burung Manyar karangan Y.B. Mangunwijaya.
Ini bukan satu-satunya musibah berskala besar yang menimpa jemaah haji Indonesia. Pada 1994, terjadi musibah di terowongan Mina yang merenggut jiwa seratusan lebih jemaah haji Indonesia. Pada 2004, terowongan Mina lagi-lagi meminta korban sekira 50-an jemaah haji Indonesia.
Uniknya, musibah beruntun tak menyurutkan minat muslim Indonesia untuk berhaji. Biaya yang mahal tak jadi halangan. Jemaah haji Indonesia selalu jadi kontingen terbesar. Pemerintah Arab Saudi bahkan sampai memberikan kuota bagi jemaah haji Indonesia. Banyak calon haji yang harus masuk daftar tunggu, atau menunggu sampai musim haji tahun berikutnya. Pada 2001, misalnya, jumlah jemaah haji yang masuk daftar tunggu berjumlah 35 ribu orang, menyusul terpenuhinya kuota 205 ribu.
Empat rukun Islam selain haji cenderung bersifat individual. Ibadah haji sebagai rukun Islam penutup justru punya watak sosial menyusul hadirnya tuntutan bagi para jemaah untuk menghempaskan ego. Di Tanah Suci, di hadapan Yang Illahi, semua penanda identitas kedirian (ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, pangkat juga kekayaan) diterabas dan dilintasi. Semua bergerak mengelilingi Ka’bah tanpa dihalangi sekat atau hijab; sesuatu yang tak mungkin terjadi dalam ritual ibadah biasa di mesjid yang memisahkan lelaki dan perempuan.
Seorang haji yang mak’bul semestinya tak lagi punya ego yang tinggi. Kesalehan personal, bagi seorang haji yang berhasil, mesti berbanding lurus dengan kesalehan sosial. Ibadah haji karenanya menjadi contoh ihwal bagaimana ritus keagamaan punya watak liminal, melampaui sekat dan batas, melampaui yang personal menjadi sosial. Ibadah haji, dalam kata-kata antropolog Arnold van Gennep, adalah sebuah ritus perlintasan (rites de passages).
Kita punya ingatan yang kuat ihwal ibadah haji sebagai ritus yang punya implikasi sosial. Di pengujung abad 19, sejarah Indonesia mencatat dengan khidmat, bagaimana para jemaah haji kembali ke tanah air dengan kesadaran baru ihwal Islam dan bagaimana Islam menyikapi kolonialisme.
Kesadaran baru ini punya andil besar dalam memercepat proses kesadaran anti-kolonial, terutama lewat ide pan-Islamisme. Saking seriusnya, pemerintah kolonial bahkan mengutus begawan orientalis, Snouck Hurgronje, untuk menyusup ke Mekkah dan memelajari tingkah laku dan interaksi para jemaah haji.
1 comment:
Ijin Copas Bung...
Post a Comment