Monday, May 21, 2007

Imigran dari Tiongkok

21 Mei 1690, Hari ini, di Batavia, VOC mengeluarkan Ordonansi yang mewajibkan semua orang Tiongkok yang masuk ke Batavia setelah 1683 melaporkan diri pada kepala kelompok-kelompok mereka. Berdasarkan laporan itulah akan diputuskan apakah mereka boleh tinggal ters atau harus dipulangkan ke Tiongkok.

Ordonansi itu dilansir menyusul kekhawatiran VOC atas derasnya arus kedatangan orang Tiongkok ke Batavia. Itu disebabkan, salah satnya, lepasnya kekuasaan Belanda atas Formosa (sekarang Taiwan), sehingga pulau itu tak bisa digunakan untuk menyeleksi orang Tiongkok mana yang diijinkan pergi ke Batavia. Sejak lepasnya Formosa, para imigran Tiongkok bisa langsung berlayar ke Batavia tanpa seleksi

Dalam kalkulasi VOC, kedatangan para imigran VOC bisa menghancurkan dominasi perdagangan mereka di Jawa. Mereka membuka usaha di sekitar Batavia, seperti di Priangan, termasuk usaha pertanian, perdagangan kopi, dll. VOC makin khawatir para imigran Cina itu mampu memotong monopoli VOC karena kemampuan mereka menjalin hubungan langsung dengan penduduk setempat.

VOC menyebarkan propaganda dengan menyebut-nyebut para imigran Tiongkok sebagai kriminal, pemalsu surat keterangan, bodoh, dan tidak memiliki sedikit pun keterampilan. Akibat propaganda itu, keluarga-keluarga imigran Tiongkok yang sudah lebih dulu mapan di Batavia pun akhirnya mendukung pembatasan tersebut.

Pada 21 Januari 1707, VOC akhirnya mengijinkan kedatangan para imigran itu, dengan syarat setiap jung yang membawa imigran dibatasi penumpangnya. Untuk jung besar maksimal 100 imigran dan jung kecil maksimal 80 imigran. VOC berharap kelonggaran itu bisa mengurangi penyelundupan imigran.

Tapi penyelundupan imigran tetap ramai. VOC akhirnya memutuskan melakukan razia terus menerus. Dan keluarlah Ordonansi yang lebih keras pada 22 April 1738: siapapun orang Tiongkok yang tidak bisa menunjukkan surat keterangan akan ditangkap dan dipulangkan.

Orang-orang Tiongkok percaya para migran yang ditangkap bukan dikembalikan, tapi ditenggelamkan ke laut. Inilah yang memicu “Pemberontakan Cina” di Batavia pada Oktober 1740. Ribuan orang Tiongkok terbunuh dan sekitar 700 rumah milik orang Tiongkok dihancurkan dan dibakar. Beberapa tahun kemudian, di kraton Surakarta, bekerjasama dengan bangsawan setempat, orang-orang Tiongkok lagi-lagi menggelar perlawanan yang masyhur dengan sebutan Geger Pacinan.

Kebijakan rasialis itu didukung oleh kekaisaran Tiongkok yang selalu membatasi arus imigrasi warganya. 18 tahun sebelum Pemberontakan Cina di Batavia, Kaisar K’ang-hsi dari Dinasti Ming mengeluarkan dekrit yang melarang semua hubungan niaga antara swasta dengan Aisa Tenggara dan menuntut pemerintah asing untuk menangkap dan mengembalikan orang-orang Tiongkok untuk dieksekusi.

Ini berbeda dengan orang-orang Eropa yang sedikit banyak didukung bepergian dan melakukan ekspedisi ke Asia, Afrika dan Amerika. Inilah yang menyebabkan munculnya komunitas-komunitas kreol di negeri asing yang dibangun secara koheren, makmur, sadar-diri akan muasalnya, dan memosisikan komunitas baru mereka sebagai pembayangan dan sub-ordinasi dari metropol di kampung halaman mereka. Tak mengherankan jika di negeri-negeri baru itu, muncul aura pembayangan dalam nama-nama kota seperti: New York, New Orleans, Nova Lisboa, Nieuw Amsterdam, Nieuw Zealand, dll.

Tak mengherankan jika, berapa pun banyaknya orang Tiongkok yang berimigrasi, betapa pun hebatnya ekspedisi Cheng Ho pada abad 15 dibandingkan dengan ekspedisi Colombus, kita tak pernah menyaksikan kelahiran Wuhan Baru. Kita juga, misalnya, akan kesulitan membayangkan munculnya New Basra atau New Baghdad di Asia Tenggara, betapa pun banyaknya orang-orang Timur Tengah yang bermigrasi.

Karena para imigran Tiongkok dan Timur Tengah memang tak membayangkan diri sebagai komunitas yang koheren dan secara sadar diri menempatkan dirinya sebagai pembayangan dan sub-ordinasi dari metropol di kampung halamannya.

1 comment:

Anonymous said...

K'ang hsi adalah kaisar Dinasti Ching bro...

_____________________________________ Jurnal