Integralisme Soepomo
31 Mei 1945. Hari ini, di gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6, Jakarta, Prof. Soepomo berpidato di hadapan sidang umum BPUPKI. Selain mengajukan 5 poin penting yang ia tawarkan sebagai dasar negara, Soepomo juga mengajukan konsepsi integralisme sebagai staatside dari negara Indonesia.
Soepomo mula-mula menguraikan sejumlah teori yang bisa dipilih sebagai prinsip dasar yang menentukan sistem pemerintahan. Pertama, ia menyebutkan "teori negara individualistis" yang dikembangkan Thomas Hobbes, John Locke, J.J Rousseau, Herbert Spencer, dan Harold J Laski. Selanjutnya, ia menawarkan "teori pertentangan kelas" seperti yang didedahkan oleh Karl Marx. Terakhir, Soepomo mengenalkan "teori negara integralistik" yang diajarkan Spinoza, Hegel, dan Adam Muller.
"Indonesia akan menganut teori yang mana?" tanya Soepomo kepada peserta sidang yang hadir.
Tentu saja itu pertanyaan retoris karena ia sudah menyiapkan jawaban. Mula-mula ia mendefinisikan negara sebagai "susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis.”
Dengan intonasi yang terang, orang Indonesia pertama yang menjadi guru besar hukum adat tersebut akhirnya membuka tawarannya. Ia menyarankan agar pemerintahan negara Indonesia yang akan dibentuk kelak menerapkan konsepsi negara integralistik. Negara integralistik, kata Soepomo, “adalah negara yang yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apa pun.”
Di bawah bayang-bayang konsepsi ntegralisme itu, Soepomo mencoba meyakinkan segenap yang hadir ihwal negara sebagai kesatuan masyarakat yang organis dan tersusun secara integral, di mana negara bertujuan menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai kesatuan, bukan menjamin kepentingan seseorang atau golongan. Pemikiran ini didasarkan pada prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyatnya.
Seperti ditunjukkan oleh studi Marsilam Simanjuntak, Soepomo tak keberatan jika negara Indonesia dipimpin raja berikut hak turun-temurunnya. Tak mengherankan jika Soepomo, yang didukung oleh retorika Soekarno yang menyakinkan, menolak jika hak-hak warga negara dijamin secara eksplisit dalam UUD.
Integralisme negara yang organis a la Soepomo, kurang lebih, tidak bisa menerima klausul hak warga negara dimasukkan karena itu sama saja mencurigai pemimpin Indonesia akan menindas warganya sendiri.
Soepomo, yang paham benar perkara hukum adat, maju ke depan dengan konsepsi yang berangkat dari idealisasi atas “Republik Desa” yang nyaman, tenang dan tenteram. Dia membayangkan pemimpin negara sebagai orang yang mengayomi warga desa sehangat bapak mengayomi anak-anaknya.
Di sekujur konsepsi yang ditawarkan Soepomo, cita rasa pemikiran Hegel menguar cukup kuat. Kita tahu, filsuf Jerman yang berpengaruh itu merupakan penganjur utama dari pandangan sejarah yang menganggap negara sebagai ujung perjalanan panjang dari apa yang ia sebut sebagai “rasio sejarah”. Negara Prussia, dalam pandangan Hegel, adalah pengejawantahan dari “rasio sejarah” yang sedang bergerak menemukan tujuan akhirnya.
Dua orang yang namanya sama-sama berawalan Mohammad, Hatta dan Yamin, menjadi penantang serius dari konsepsi negara yang dikampanyekan duet Soepomo-Soekarno. Sembari menuntut agar hak warga negara dijamin oleh konstitusi, Hatta dan Yamin mengungkapkan kekhawatirannya akan konsepsi Soepomo-Soekarno yang memberi celah munculnya “negara kekuasaan” (machtstaat).
Perlawanan yang argumentatif dari Hatta dan Yamin ini akhirnya melahirkan “kompromi”, yang hasilnya bisa kita simak dari pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan warga negara untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Kendati kadarnya masih minimal, kompromi itu menjadi pengakuan paling tua dari konstitusi Indonesia atas hak-hak warga negara.
1 comment:
Kegagalan Soepomo memahami teori 'negara organis'-nya Hegel disebabkan (1) kenaifan Soepomo akan hakekat penguasa (manusia) yang tidak mungkin selalu baik dan (2) kegagalan Soepomo membedakan antara institusi negara dan organ pemerintah. Manakala institusi negara dan organ pemerintah tidak dibedakan, maka yang ada bukan 'negara organis' yang terus berkembang dan dinamis, namun 'negara statis' yang otoriter, seperti yang akhirnya menjadi kenyataan sejarah di Indonesia.
Post a Comment