Bahasa dan Bangsa
Bahasa dan Bangsa
25 Juni 1919. Hari ini, keluar Dekrit Raja Belanda yang membolehkan bahasa Melayu digunakan dalam sidang-sidang Volksraad. Kendati demikian, dekrit ini hanya menegaskan bahasa Melayu mulai bisa digunakan dalam sidang-sidang Volksraad dengan catatan: bahasa Belanda mesti tetap menjadi prioritas.
Sebelumnya, tepatnya pada 19 Maret 1919, pemerintah kolonial sudah lebih dulu mendirikan kursus bahasa Melayu untuk para pegawai Belanda. Kendati demikian, beleid Raja Belanda itu tetaplah mengejutkan karena memberi kesempatan bahasa Melayu tampil sebagai “cara wicara”.
Kurang lebih, beleid ini sama artinya memberi peluang pada bahasa Melayu untuk memasuki politik diskursif dan tidak semata sebagai lingua franca di pasar-pasar atau dermaga dan pelabuhan saja.
Beleid itu juga terhitung mengejutkan mengingat usia Volksraad sendiri baru setahun setelah secara resmi dibuka oleh Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum pada Mei 1918, kendati Undang-Undang Volksraad sendiri sudah digodok Parlemen Belanda sejak Desember 1916. Menteri Urusan Daerah Jajahan Belanda, dalam statemennya di Parlemen Belanda, antara lain menyatakan suatu saat nanti Volksraad akan menjadi semacam Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda.
Mayoritas orang-orang Belanda di Indonesia percaya bahwa pembentukan Volksraad sebagai salah satu faset penting dalam perkembangan Hindia Belanda. Dalam kerangka yang lebih optimistik, Volksraad bahkan dipercaya sebagai tahap awal mencapai Hindia Belanda yang lebih otonom.
Peluang ini tidak disia-siakan oleh sejumlah kaum nasionalis yang terpilih untuk duduk di Volksraad. Contoh yang paling terkenal adalah Ages Salim.
Pada salah satu sesi pidato di Volksraad, Agoes Salim berpidato dalam bahasa Melayu. Pimpinan sidang waktu itu sepertinya lupa pada beleid Raja Belanda dan langsung menegur dan memintanya berpidato dalam bahasa Belanda.
Salim menolak permintaan itu dan menjawab: "Saya memang pandai berpidato dalam bahasa Belanda, tapi menurut peraturan Dewan, saya punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam bahasa
Salim terus berpidato dalam bahasa Indonesia, dan ketika ia mengucapkan kata 'ekonomi', seorang anggota Volksraad bernama Bergmeyer langsung mengejeknya dengan nyeletuk: "Apa kata ekonomi dalam bahasa Melayu?"
Tak mau kalah, Agoes Salim tangkas memotong: "Coba tuan sebutkan apa kata ekonomi itu dalam bahasa Belanda, nanti saya sebutkan Indonesianya?"
Bahasa memang memainkan peran yang amat penting dalam prosesi kelahiran wacana dan gerakan nasionalisme di tanah jajahan, terutama tanah jajahan di wilayah
Kelahiran “bangsa” selalu didahului oleh proses menyusun “konsensus” untuk menggunakan satu bahasa sebagai “cara-wicara-bersama”. Bahasa inilah yang membuat (dalam kata-kata Ben Anderson) “ruang imajinasi yang hampa dan homogen bisa diisi oleh sesuatu yang berharga”.
Dalam kasus Indonesia, konsensus untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai “cara-wicara-bersama” butuh proses yang tidak mudah. Beleid Raja Belanda yang mengijinkan penggunaan bahasa Melayu di Volksraad bukan satu-satunya pemicu.
Bagi sebuah bangsa yang diseraki ribuan suku dengan ribuan bahasa dan dialek, upaya memilih “bahasa bersama” tampak sebagai sesuatu yang utopis, betapa pun bahasa Melayu sudah digunakan secara terbatas di are-area tertentu. Tetapi tetap saja itu tidak mudah karena konsensus untuk menetapkan satu “cara-wicara-bersama” itu akan bersinggungan dengan egoisme dan superioritas kesukuan dan primordial.
Tetapi justru utopia itulah yang dikerjakan secara kolektif oleh semua elemen gerakan nasionalis, baik dari kelompok kooperasi maupun non-kooperasi. Utopia itu dikerjakan dengan penuh semangat karena kaum nasionalis tahu jika konsensus memilih satu bahasa sebagai “cara-wicara-bersama” itu terealisir, egoisme kesukuan dan primordialisme sedikit banyak sudah bisa di atasi.
Dan dengan itu, jalan untuk lahirnya sebuah bangsa yang melintasi keragaman budaya, bahasa, dialek, suku dan agama sudah makin terbuka.
No comments:
Post a Comment