Dilarang Melihat Gerhana
11 Juni 1983. Hari ini, 24 tahun silam, berlangsung gerhana matahari total yang bisa disaksikan secara utuh di beberapa tempat di Indonesia. Gerhana yang berlangsung selama 15 menit 11 detik itu disambut dengan persiapan laiknya menyelenggarakan sebuah persitiwa akbar.
Tetapi cukup jelas juga, rangkaian persiapan menyambut gerhana matahari total itu dilakukan dengan cara yang tidak biasa. Cara-cara yanng tidak biasa itulah yang menyebabkan gerhana matahati total pada 1983 bisa dibilang sebagai gerhana matahari yang paling menghebohkan.
Pemerintah Indonesia sendiri merencanakan peristiwa alam ini sebagai momen pariwisata. Pemerintah Indonesia, melalui Dinas Pariwisata, mengkampanyekan gerhana itu sebagai peristiwa alam yang langka. Pemerintah menargetkan peristiwa ini sebagai salah satu momen terbaik untuk memerkenalkan Indonesia.
Persiapan dirancang sedemikian rupa seperti menyiapkan sebuah event akbar. Brosur-brosur dicetak dan rangkaian perjalanan wisata sains pun dipersiapkan.
Dunia internasional sendiri menunjukkan minat yang besar pada peristiwa ini. Para astronom, peminat astronomi dan wisatawan banyak yang datang ke Indonesia hanya untuk menyaksikan peristiwa gerhana matahari total itu.
Sampai-sampai, National Aeronautics and Space Administration (NASA) mengirimkan sejumlah ilmuwannya ke Indonesia dalam rangka observasi ilmiah. NASA sendiri memilih daerah Tanjung Kodok di Pasuruan sebagai lokasi observasi ilmiah para pakar astronomi internasional. Dari sinilah kemudian muncul Stasiun Pengamat Dirgantara (SPD) Watukosek.
Persiapan menyambut gerhana matahari total itu berkembang menjadi wacana keamanan nasional. Peristiwa gerhana ini “dimanfaatkan” pemerintah Orde Baru untuk menggelar operasi keamanan yang kelak masyhur dengan sebutan “Petrus” (Penembakan Misterius); yang dimaksudkan untuk mengamankan peristiwa gerhana matahari total yang disebut-sebut sebagai event berskala internasional.
”Terus terang, operasi ini untuk meratakan suasana aman menjelang gerhana matahari 11 Juni mendatang. Kalau tamu dari luar negeri nanti diganggu, mereka akan berkata: ‘Jangan pergi ke Indonesia. Di sana banyak copet, garong ...’ Kan kita rugi,” kata Komandan Distrik Militer 0734 Yogyakarta waktu itu, Letkol M. Hasbi, seperti dikutip Tempo, 16 April 1983.
Tak cukup itu, pemerintah Orde Baru juga melarang warganya untuk menyaksikan peristiwa gerhana matahari total. Sosialisasi pelarangan itu dilakukan dengan massif melalui media cetak, elektronik dan selebaran-selebaran. Dalam buku 40 Tahun Indonesia Merdeka ditemukan foto yang menampilkan rentangan spanduk bertuliskan: “Dilarang keras melihat langsung gerhana matahari total. Mata anda akan menjadi buta. Kacuali melalui siaran TV tanggal 11 Juni jam 09.15-13.00.”
Para pejabat pemerintah di Jawa bahkan kembali mereproduksi mitos raksasa yang menelan matahari sebagai penyebab munculnya gerhana. Harian Kedaulatan Rakyat pada 4 Juni 1983, misalnya, mengutip pernyataan Bupati Sukoharjo saat itu, Gatot Amrih: “Biarlah masyarakat berpandangan gerhana disebabkan matahari dimakan raksasa. Biar cerita rakyat itu tetap tumbuh subur saat ini, asal membuat mereka takut menatap peristiwa itu.”
Pada saat gerhana, sebagian warga Indonesia di Jawa benar-benar tak berani keluar rumah dan bahkan menutupi genting kaca rumahnya dengan kertas. Sementara situasi di ibukota Jakarta tampak lengang. Angkutan banyak yang berhenti beroperasi. Para pekerja lebih banyak berdiam di kantor masing-masing atau justru memilih tinggal di rumah.
Seperti ditulis dengan cerdik oleh antropolog John Pamberton dalam buku On the Subject of "Java", orang-orang Jawa kemudian menyambut kedatangan malam dengan lega, seakan-akan ancaman musibah sudah berhasil dilewati, seraya menghaturkan terimakasih kepada pemerintah Orde Baru atas peringatannya dan juga tayangan gerhana di TVRI.
No comments:
Post a Comment