Saturday, July 14, 2007

Arkeologi Kemanusiaan

14 Juli 1922. Hari ini, 85 tahun silam, Prof. DR. Soekmono dilahirkan di Brebes, Jawa Tengah. Dalam sejarah ilmu-ilmu humaniora di Indonesia, posisi dan reputasi Prof. Soekmono di bidang arkeologi bisa dibandingkan dengan Prof. Selo Soemardjan di bidang sosiologi atau Prof. Koentjaranngrat dalam studi sosiologi maupun Prof. Sartono Kartodirdjo dalam studi sejarah.

Disertasinya di Universitas Indonesia telah menjadi klasik dalam studi arkeologi di Indonesia. Disertasi berjudul “Candi: Fungsi dan Pengertiannya” itu merupakan sebuah studi yang ambisius dalam menjelaskan fungsi dan kekhasan candi-candi di Indonesia.

Dari penelusurannya yang ekstensif, Soekmono menawarkan satu model periodisasi sejarah candi-candi di Indonesia sekaligus membantah teori “lima tahapan periodisasi sejarah candi” EB Volger yang tak pernah dibantah secara serius oleh arkeolog-arkeolog lainnya selama puluhan tahun.

Soekmono menyusun periodisasi sejarah candi di Indonesia ke dalam dua periode. Periode pertama disebut “Dieng Lama” (antara 650-730 M), dengan contoh-contoh bangunannya antara lain Candi Arjuna, Semar, Srikandi, dan Gatotkaca. Periode kedua, kata Soekmono, terdiri atas tiga gaya, yakni Dieng Baru, Syailendra, dan gabungan keduanya (antara 730-800 M), dengan contoh bangunannya antara lain Candi Gedongsongo, Bhima, Kalasan, Sewu, Sambisari, dan Lumbung.

Soekmono pula yang mematahkan teori Raffles ihwal candi sebagai makam yang dibangun untuk menghormati seseorang. Soekmono membuktikan bahwa apa yang disebut candi sebenarnya adalah kuil tempat memuja para dewa sebagaimana di India.

Reputasi Soekmono di bidang arkeologi kian menjulang berkat kegigihannya mengampanyekan penyelamatan dan pemugaran Borobudur.

Pada 1954, dalam sebuah konferensi internasional di Den Haag, Soekmono untuk pertama kalinya menyerukan agar dunia internasional ikut berusaha menyelamatkan Borobudur dari kerusakan. Itu pula yang dilakukan Soekmono ketika mengikuti Kongres Orientalis International di Ann Arbor (AS) pada 1967.

Ketika UNESCO akhirnya tertarik membantu proyek pemugaran Borobudur, Soekmono ditunjuk pemerintah pada Juni 1971 sebagai ketua Panitia Pemugaran Borobudur. Ketika itu Soekmono dibantu tiga pakar asing yaitu Prof. C. Voute, Dr. G. Hyvert, dan Prof. Bernard Philipe Groslier yang termasyhur karena andilnya menyelamatkan Angkor Wat di Kamboja. Selama hampir 15 tahun Prof. Soekmono memimpin proyek besar yang melibatkan tenaga profesional dari 27 negara serta menghabiskan dana sekira 20 juta dolar.

Tak bisa dibantah, Prof. Soekmono adalah salah satu perintis penting studi arkeologi di Indonesia. Dengan catatan akademik yang cemerlang serta kegigihannya mengumpulkan dan menyelamatkan benda-benda arkeologis, Prof. Soekmono dan arkeolog-arkeoog lainnya berusaha menyemaikan satu kesadaran ihwal arti penting studi arkeologi sebagai salah satu disiplin penting dalam studi tentang manusia dan genealogi perkembangannya.

Daoed Joesoef, seorang Doktor bidang ekonomi dari Sorbonne, yang memiliki minat serius pada arkeologi dan sudah menerbitkan buku arkeologi berjudul Borobudur, menyebut arkeologi sebagai disiplin yang memungkinkan manusia merenungkan keberadaannya dalam dimensi yang menembus ruang dan waktu, melampaui disiplin sejarah yang baru bisa bergerak setelah sebuah peradaban mengenal aksara.

Arkeologi-lah yang berhasil menunjukkan rangkaian fakta ihwal manusia yang pada satu masa yang jauh telah mampu membedakan dirinya dari makhluk-makhluk lain. Jauh sebelum tulisan muncul, arkeologi-lah yang menunjukkan bahwa manusia telah berhasil melepaskan diri dari ketergantungannya pada alam, lalu mentransendir, bahkan mengubahnya.

Karakternya yang “tembus pandang” ruang dan waktu itu pula yang membuat Michael Foucoult menggunakan istilah “arkeologi” untuk menamai salah satu metode berpikirnya (archeology of knowledge).

1 comment:

Unknown said...

Artikel lumayan bagus, terima kasih.

_____________________________________ Jurnal