Dekrit
5 Juli 1959. Hari ini, 48 tahun silam, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden. Ada dua pokok penting dari Dekrit 5 Juli itu. Pertama, membubarkan Dewan Konstituante. Kedua, memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai kontitusi Indonesia.
Dalam pidato pengantarnya, Presiden Soekarno dengan terang-terangan menyebut Dewan Konstituante telah gagal menyelesaikan tugasnya menyusun konstitusi. Kita tahu, Dewan Konstituante yang dipilih secara langsung dalam Pemilu 1955 diberi kewenangan menyusun konstitusi Indonesia yang waktu itu masih menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS).
Ketika Dekrit dikeluarkan, Dewan Konstituante sebenarnya sudah menyelesaikan 90 persen draft konstitusi. Pembicaraan menemui jalan buntu ketika sampai pada pembahasan dasar negara. Kelompok Islam menghendaki agar Islam dijadikan dasar negara, sementara kelompok nasionalis tetap menghendaki Pancasila sebagai dasar negara.
Barangkali untuk membesarkan hati kelompok Islam yang menginginkan agar Islam dijadikan dasar negara, Presiden Soekarno menyebut-nyebut Piagam Jakarta. Dia mengatakan bahwa Piagam Jakarta adalah “suatu dokumen sejarah yang mengilhami keseluruhan UUD 1945 tetapi tidak dengan sendirinya menjadi bagian resmi UUD 1945”.
Dengan melansir Dekrit, Presiden Soekarno dengan demikian tidak hanya melantakkan separuh dari hasil Pemilu 1955, melainkan juga membuat 90 persen draft konstitusi Indonesia yang dibahas Konstituante sejak 1956 hanya menjadi tak lebih dari sehelai arsip. Soekarno melakukan itu dalam sekali hentak.
Soekarno sudah jauh-jauh hari menunjukkan hasrat memberlakukan kembali UUD 1945. Keinginan itu makin tampak masuk akal setelah Dewan Konstituante gagal menemukan kosensus menyusul kegagalan memenuhi kuorum tiga perempat suara dalam empat kali voting yang digelar pada 22 April, 30 Mei, 1 Juni dan 2 Juni 1959.
Menyusul kegagalan empat kal voting itu, krisis konstitusi betul-betul tampak dengan kasat mata. Nyaris tidak ada lagi orang yang optimis Dewan Konstituante bisa menyelesaikan tugasnya. Sejumlah anggota Konstituante bahkan menyarankan agar Konstituante membubarkan diri.
Situasi makin sulit, terkhusus bagi Fraksi Islam di Konstituante, menyusul dikirimnya kawat oleh militer Indonesia dan Soewirjo (Ketua Umum PNI) kepada Soekarno yang sedang melawat ke Jepang. Kawat itu menyarankan agar Presiden Soekarno langsung mendekritkan saja pemberlakuan kembali UUD 1945. Dekrit yang ditunggu-tunggu itu pun keluar pada 5 Juli 1959.
Di satu sisi, dekrit itu berhasil menyelesaikan krisis konstitusi yang akut. Tetapi di sisi lain, dekrit itu dicurigai (dan kelak terbukti) sebagai solusi yang justru akan melahirkan krisis baru yang lebih akut: otoritarianisme.
Soekarno memang tak sendiri. Jenderal AH Nasution juga tak bisa lepas tangan dari keluarnya Dekrit ini. Dialah salah satu elit yang sejak beberapa tahun sebelumnya sudah menyarankan agar Presiden Soekarno memberlakukan kembali UUD 1945.
Tapi, apa boleh buat, Soekarno seperti harus menanggung semuanya sendirian, lebih karena ia memang menjadi orang yang paling menginginkannya. Dengan UUD 1945, kekuasaan yang efektif praktis kembali ke tangan Presiden. Soekarno merasakkan betapa tak enaknya menjadi “Presiden tanpa kekuasaan” selama era parlementer yang dipenuhi cerita tak enak ihwal jatuh-bangunnya kabinet.
Soekarno tidak hanya jengkel, tapi ia juga tak sabar dengan demokrasi yang bertele-tele. Demokrasi liberal pada era parlementer mendapat cap sebagai sesuatu yang buruk dan (dalam kata-kata Soekarno) “merusak sendi-sendi identitas bangsa”.
Tetapi, tidakkah pemberlakukan UUD 1945 bisa dibaca sebagai keraguan akan generasi muda yang akan datang?
Hasrat kembali memberlakukan UUD 1945, yang masih terus dipelihara oleh sejumlah orang di hari-hari belakangan, menguarkan sikap meragukan generasi yang lebih muda, seakan-akan angkatan ’45 yang menciptakan UUD 1945 sebagai satu-satunya generasi Indonesua yang terbaik, puncak jenius bangsa yang tidak akan sanggup lagi dilampaui.”
No comments:
Post a Comment