Friday, July 6, 2007

Diplomasi atau Gerilya?

6 Juli 1949. Hari ini, 57 tahun silam, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta serta beberapa pejabat tinggi Indonesia kembali ke ibukota, Yogyakarta, setelah ditawan selama 6 bulan oleh Belanda di Bangka, Sumatera.

Soekarno-Hatta mulai ditawan pada 19 Desember 1948 sewaktu Belanda menggelar Agresi Militer II. Sebelum ditangkap dan ditawan, pemerintah Indonesia sempat menggelar sidang kabinet darurat. Sejumlah keputusan penting diambil dalam sidang tersebut.

Keputusan krusial yang diambil adalah mengirim radiogram kepada Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Jika Sjafruddin tak bisa membentuk PDRI, AA Maramis, LN Palar dan Dr. Soedarsono yang sedang berada di India diberi kuasa untuk membentuk Pemerintahan Republik Indonesia di India.

Dalam sidang kabinet darurat yang digelar pagi hari itu, pemerintah juga membahas kemungkinan Presiden, Wakil Presiden dan pejabat lain untuk ikut mengungsi dengan dikawal tentara atau tetap tinggal di Jogja dengan menghadapi resiko ditangkap. Pilihan kedua akhirnya diambil.

Opsi yang dambil itu, tak ayal, melahirkan rasa kecewa yang besar di kalangan tentara, terutama Jenderal Soedirman. Siang itu juga, dalam kondisi kesehatan paru-paru yang lemah, Soedirman bersama pasukannya bergerak ke luar kota menuju arah selatan. Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, Kolonel AH Nasution, lantas mengumumkan berdirinya pemerintahan militer untuk wilayah Jawa.

Di tangan Nasution inilah komando efektif atas pergerakan tentara berasal. Sementara Soedirman berperan sebagai solidarity maker yang lebih banyak memompa semangat tentara dengan kegigihannya bergerilya dalam kondisi paru-paru yang hanya beroperasi sebelah.

Ketika Sjafruddin Prawiranegara menggelar long march di Sumatera untuk menggalang solidaritas dengan para pemimpin daerah di sana, tentara di bawah kepemimpinan Soedirman-Nasution secara sporadis melakukan penyerangan ke kantung-kantung tentara Belanda. Puncak perlawanan berlangsung pada 1 Maret 1949 melalui Serangan Oemoem yang dipimpin oleh Letkol. Soeharto.

Ketika Belanda menyerang Jogja, Komisi Tiga Negara yang ditunjuk PBB sebagai mediator sebenarnya sebetulnya sedang berada di utara Jogja, persisnya di Kaliurang. Dewan Keamanan PBB merasa dilangkahi oleh Agresi Belanda. Opini Amerika Serikat pun berbelok drastis mengecam Belanda.

Amerika sudah mencium gelagat bangkitnya komunisme. Pada tahun itu, kudeta kaum komunis baru berlangsung di Cekoslowakia, pemberontakan komunis di Malaya dan Burma dimulai, dan makin menguatnya komunisme di Cina. Bagi Amerika, keberhasilan pemerintah Indonesia menggagalkan aksi PKI/FDR di Madiun 2 bulan sebelum agresi Belanda menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia anti-komunis.

Pemerintah Belanda akhirnya menyadari kemajuan militer yang mereka peroleh lewat agresi militer tak sebanding dengan kemajuan diplomatik. Bukan hanya PBB, negara-negara yang sebelumnya menjadi sekutu dengan cepat berubah arah.

Pada konteks itulah perundingan Roem-Royen digelar pada Mei 1949. Selain mengembalikan pejabat Indonesia yang ditawan ke Jogja, Belanda juga bersedia menggelar Konferensi Meja Bundar di Den Haag.

Bagi para pemimpin sipil Indonesia yang ditawan, keberhasilan diplomatik itu menunjukkan betapa pilihan mereka untuk tetap tinggal di Jogja adalah strategi yang jitu, yang mampu menarik dimpati dunia internasional.

Sementara tentara bukan hanya tetap menyimpan sejumput rasa kecewa, tetapi diam-diam mencoba meyakinkan diri mereka sendiri bahwa semua proses yang menguntungkan Indonesia tak bisa dilepaskan dari andil mereka yang konsisten menggelar perlawanan pada Belanda ketika pemimpin sipil justru lebih memilih ditawan.

Dari sinilah, polemik yang sempat muncul ihwal gerilya atau diplomasi-kah yang lebih menentukan perjuangan, berhulu.

No comments:

_____________________________________ Jurnal